Suasana rumah Fira begitu sunyi. Udara di dalamnya terasa berat, seakan menyimpan kepedihan yang belum bisa terurai. Bagas, Dimas, dan Lila duduk di ruang tamu, dikelilingi oleh keluarga Fira yang masih berduka.
Mata Bagas terpaku pada meja kecil di sudut ruangan, tempat Fira biasa duduk dan mengerjakan tugasnya. Kenangan-kenangan bersamanya terus berputar di kepalanya—tawanya, ocehannya, tatapan hangatnya.
Lila meremas tangannya sendiri, berusaha menahan air mata. Dimas pun hanya bisa terdiam, meskipun wajahnya menunjukkan jelas bahwa ia sedang berusaha menahan kesedihan yang mendalam.
“Bagas,” suara lembut Ibu Fira membuyarkan lamunannya. Wanita itu menghampirinya sambil membawa sebuah buku dengan sampul biru tua. Matanya masih sembab, tetapi ada kehangatan dalam caranya menatap Bagas.
“Ini… milik Fira. Buku hariannya.”
Bagas menatap buku itu, ragu-ragu untuk menerimanya.
“Ia sering menulis tentang banyak hal di sini,” lanjut Ibu Fira dengan suara bergetar. “Aku pikir… mungkin kau ingin membacanya.”
Bagas meraih buku itu dengan tangan gemetar. Sampulnya sudah sedikit lusuh, tanda bahwa Fira sering membawanya ke mana-mana. Ia menggenggamnya erat, seolah takut benda itu akan menghilang begitu saja.
Lila menatapnya dengan prihatin, sementara Dimas menepuk pundaknya pelan. “Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa, Gas,” katanya pelan.
Tapi Bagas menggeleng. Ia harus membacanya.
---
Malam itu, di kamarnya, Bagas duduk di depan meja dengan buku harian Fira di tangannya. Cahaya lampu belajar menerangi halaman pertama yang ia buka. Tangannya gemetar saat menyentuh tulisan tangan Fira yang khas—rangkaian huruf yang rapi namun kadang sedikit berantakan saat ia terburu-buru menulis sesuatu.
Ia menghela napas panjang sebelum mulai membaca.