Hari-hari berlalu, dan meskipun rasa kehilangan itu masih menyakitkan, Bagas, Dimas, dan Lila berusaha menjalani kehidupan seperti biasa. Sekolah tetap berjalan, tugas terus menumpuk, dan latihan basket tetap berlangsung. Tapi ada satu hal yang berbeda—tempat duduk kosong di kantin, satu suara yang tidak lagi ikut tertawa bersama mereka, dan pesan singkat yang tak lagi muncul di grup chat mereka.
Bagas menatap layar ponselnya, membuka obrolan lama dengan Fira. Percakapan terakhir mereka masih ada di sana, seolah-olah waktu belum bergerak. Ia membaca ulang beberapa pesan, tersenyum kecil saat mengingat betapa cerewetnya Fira.
"Gas, jangan lupa minum air putih! Kalau sampai sakit, aku nggak mau jenguk!"
Bagas menghela napas panjang. Ia tahu Fira pasti akan menepati ancamannya itu sambil tertawa. Tapi sekarang, kata-kata itu hanya menjadi kenangan yang tidak bisa diulang kembali.
Dimas duduk di sebelahnya, ikut melirik layar ponsel Bagas. "Lo masih sering buka chat Fira?" tanyanya pelan.
Bagas mengangguk. "Kadang. Cuma buat nginget aja. Kayaknya gue masih belum percaya kalau dia beneran udah nggak ada."
Dimas menepuk bahu sahabatnya itu. "Gue juga, Gas. Rasanya aneh banget. Dulu tiap hari kita berempat selalu bareng, sekarang..."
Mereka terdiam sejenak. Lila, yang duduk di seberang mereka di kantin, hanya menunduk. Ia tidak banyak bicara hari ini. Sejak kepergian Fira, Lila terlihat lebih pendiam dibanding sebelumnya.
"Aku mimpiin Fira tadi malam," ujar Lila tiba-tiba.