Langit sore berwarna jingga keemasan, memberi nuansa tenang di sekolah yang mulai sepi. Bagas berdiri di lapangan basket, bola di tangannya terasa ringan, tapi hatinya masih menyimpan beban yang sulit diungkapkan. Di tempat ini, dulu Fira selalu bersemangat menyemangati mereka, berteriak paling keras saat Bagas mencetak poin, atau sekadar tertawa saat Dimas melakukan kesalahan konyol.
Dulu, Fira selalu ada di tribun kecil di samping lapangan, dengan minuman dinginnya dan senyum lebar yang khas. Kini, tribun itu kosong. Tidak ada suara teriakan semangat, tidak ada tawa lepas, tidak ada sosok yang menunggu mereka selesai latihan untuk pulang bersama.
Lila dan Dimas duduk di bangku panjang di pinggir lapangan, memperhatikan Bagas yang hanya berdiri di sana tanpa melakukan tembakan. Sudah beberapa menit ia diam, memegang bola tanpa benar-benar memainkannya.
"Kamu nggak mau latihan?" tanya Lila, mencoba mencairkan suasana.
Bagas menghela napas dan menggenggam bola lebih erat. "Aku cuma... mengingat semuanya. Rasanya masih aneh, tahu nggak? Dulu Fira selalu ada di sini."
Dimas melemparkan batu kecil ke lapangan, menatap langit sore yang semakin gelap. "Aku juga masih sering kepikiran dia. Kadang aku masih berharap dia ada di sini, duduk di tribun itu, berteriak kalau kita kalah main."
Lila tersenyum kecil. "Aku juga. Tapi aku tahu Fira pasti nggak mau kita terjebak dalam kesedihan terus. Dia pasti pengen kita tetap lanjut, tetap ketawa, tetap menjalani hidup kita."
Bagas menatap bola di tangannya, lalu memantulkannya ke lantai. Kata-kata Lila benar. Fira selalu ingin mereka bahagia, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Saat itu, langkah seseorang terdengar mendekat. Nayla datang dengan langkah ringan, membawa beberapa minuman dingin di tangannya. "Aku kira kalian masih latihan," katanya sambil menyerahkan minuman ke mereka bertiga.
Bagas menerima minuman itu dan tersenyum tipis. "Latihannya baru mulai."
Nayla duduk di sebelah Lila dan menatap langit yang semakin gelap. "Aku mungkin nggak kenal Fira sebaik kalian, tapi dari cerita yang kudengar, dia adalah orang yang luar biasa."
Lila mengangguk. "Dia lebih dari luar biasa. Dia teman terbaik yang pernah kita punya."
Nayla menatap Bagas sesaat sebelum berkata, "Aku rasa dia pasti ingin melihat kalian tersenyum lagi."