Aku masih terbaring di pangkuan ibuku. Atau lebih tepatnya—menyamar jadi mimpi yang pura-
pura tak bernapas, agar tak merusak kesunyian yang rapuh seperti kaca retak.
Ibuk duduk diam, seperti arca tua yang sudah kehilangan alasan untuk bergerak.
Matanya kosong, menatap entah ke mana—mungkin ke masa lalu yang terus ia peluk meski sudah busuk,
atau ke masa depan yang ia tahu tak pernah benar-benar datang.
Orang-orang bilang, dulu wajahnya cantik.
Tapi kini, garis-garis di wajah itu seperti luka yang tak sempat dijahit waktu.
Rambutnya kusut—sering kusisir dengan hati-hati, hanya untuk ia acak kembali, seperti hidup yang terus menolak rapi.
Bajunya lusuh, sabun murah pun tak sanggup menghapus jejak kelelahan.