Rumah kami kecil. Tapi cukup untuk menampung gigil malam dan hujan yang tak diundang.
Dindingnya dari kayu yang sudah lelah. Beberapa sudah bolong, sisanya berderit kalau disentuh angin.
Atapnya seng karatan, yang berdendang tiap kali hujan turun.
Rumah ini berdiri di bawah pohon bambu tua, di ujung jalan tanah yang bahkan sepatu pun malas melewatinya.
Kami tinggal jauh dari tetangga.
Kadang aku berpikir, mungkin bukan kami yang menjauh, tapi dunia yang memilih berbelok lebih dulu.
Tapi aku sudah akrab dengan sunyi. Sunyi yang kadang lebih setia dari manusia.
Sunyi yang tahu caranya mendengar tanpa menghakimi.
Sunyi yang tak pernah lelah jadi saksi, saat ibuk memeluk angin dan memanggilnya "Mas"—nama ayahku, yang sudah lama pergi dan tak pernah kembali.
Aku Akan Bertahan, Meski Duniaku Runtuh