Aku berlari ke kamar, melepaskan seragam sekolah yang basah oleh peluh, tanah, dan sisa-sisa pelajaran yang belum sempat tinggal.
Lalu kuganti dengan kaus lusuh—yang lubangnya disana sini, tapi tetap terasa paling nyaman karena sering dipeluk ibuk saat menjemur.
Kembali ke dapur, aku duduk di samping ibuk. Di atas lantai yang dingin, makanan itu terlihat seperti perjamuan suci.
Nasi hangat, sayur bening, tempe goreng. Tak mewah.
Tapi tangan ibuk menjadikannya lebih dari cukup.
Tanpa diminta, ia mulai menyuapiku. Satu sendok, lalu satu sendok lagi.
Tangannya kasar. Kuku-kukunya pecah. Tapi cinta yang melekat di sana... tak bisa diukur dengan apa pun di dunia ini.
Aku mengunyah perlahan. Bukan karena kenyang... tapi karena tak ingin cepat selesai. Tak ingin kehilangan momen itu.
Karena aku tahu... ada banyak anak di luar sana yang hanya bisa bermimpi disuapi ibunya.
Sedang aku—masih bisa menatap matanya saat tangan itu menyentuh mulutku.
Setiap suapan itu... seperti doa yang disuapkan langsung ke tubuhku.
Doa agar aku tumbuh kuat. Doa agar aku tak patah.
Meski hidup kerap mengiris ibuk dengan cara yang tak bisa kulihat... dan tak bisa ia ceritakan.