Malam belum benar-benar bungkam.
Di balik remang lampu minyak yang berayun lembut dan derit kayu tua yang mulai lapuk, suara dua insan itu mengalir samar, tapi tak pernah pudar.
Aku terbaring, tubuh merengkuh lelah, tapi telinga tak rela melepas setiap patah kata yang merayap di udara malam—
seolah ada sesuatu yang harus kusimak sebelum semuanya hilang.
“Tadi di warung, Bambang cerita banyak ke Bapak, Buk...”
suara bapak dalam, berat, tapi tetap menyimpan sisa harapan.
“Cerita apa, Pak?
Kok terdengar penting sekali?”
suara ibu lirih, bergetar tipis oleh kecemasan yang tak terucap.
Aku menarik selimut hingga menyembunyikan dagu.
Dari balik kain lusuh yang menjerat, aku mendengar percakapan yang nantinya akan menggores takdir kami.