Kubuka kembali album kenangan semasa SMK, melihat lagi berbagai nama dan wajah yang hampir terkubur dalam lupa. Hanya beberapa saja yang berkesan padaku, mungkin karena aku bukan termasuk geng cewek hits kala itu. Sehingga keberadaanku tak terdeteksi pada radar mereka, lingkungan pertemananku juga hanya itu-itu saja.
Kubalik tiap lembarnya perlahan, hingga sampai pada halaman itu. Sebuah nama yang tak mungkin kulupakan. Mengingatnya saja membuatku tersenyum, betapa konyolnya kami saat itu. Bertemu denganmu walau tak semuanya indah, aku selalu menyukurinya. Tahun itu 2002, awal aku mengenal cinta.
*****
Aku masih marah, belum bisa menerima semua keputusan Ayah dan Ibuku, menitipkanku pada Eyang selama sekolah di SMK ini. Sebenarnya diterima di sekolah kejuruan ini bukan keinginanku, tapi keinginan orang tuaku. Pilihan utamaku tetap SMA negeri dengan lokasi terdekat dari rumah. Tapi Ayah tak setuju, memaksaku masuk SMK dengan alasan agar cepat mendapatkan pekerjaan jika Ayah tak sanggup membiayai kuliahku kelak. Aku maklum dengan keinginan Ayah, mengingat keluargaku bukan kalangan menengah ke atas. Hanya kaum menengah ke bawah. Tak mungkin memaksakan kehendakku pada mereka. Tapi tetap saja mengapa harus tinggal bersama Eyang, padahal jika harus bolak balik naik bus pun aku rela asalkan tetap tinggal bersama kedua orang tuaku. Tapi Ayah tak setuju, beliau terlalu protektif pada anak-anaknya. Apalagi aku anak bungsunya.
Ayah dan Ibu mengantarku ke rumah Eyang malam itu menaiki bus. Lalu berjalan lagi sekitar 500 meter hingga sampai ke rumah Eyang. Tampak Eyang putri dan Eyang kakung telah menunggu kami di teras rumah. Senyum mereka merekah melihat kami tiba di sana.
"Kok lama sekali? Apa macet jalanannya?" Tanya Eyang putri.
"Ya biasa, Bu. Habis magrib sudah pasti macetnya." Jawab Ayah salim, mencium tangan Eyang diikuti aku juga Ibuku.
Kami semua dipersilakan masuk. Aku langsung ke kamar mandi menunaikan panggilan alam yang sudah tak tertahankan sejak tadi. Lalu beranjak ke teras rumah menikmati suasana malam, meninggalkan para orang tua berbincang. Lingkungan di sekitar rumah sangat tenang. Mungkin karena bersebelahan dengan kompleks asrama TNI sehingga tak ada yang berani membuat gaduh di sini.
Hah, di sinilah aku sekarang. Selama tiga tahun ke depan aku akan tinggal di sini.
"Hei kalian semua, berbaik hatilah padaku, buat waktu berjalan cepat sehingga aku bisa lulus dan kembali ke rumahku sendiri bersama orang tuaku. Oke?" Kataku pada bunga anggrek yang tergantung indah di teras.
"Hahahaaa.." Terdengar suara seorang pria tertawa.
"Kamu ngapain, dek? Bunga kok diajak ngomong."
Aduh, malu banget. Mau disembunyikan di mana mukaku? Eh.. Tapi tak ada alasan untuk malu, toh aku juga tak kenal dia.
"Su-suka akulah, ngapa emang?" Jawabku ketus.
Dia masih tertawa, samar kulihat wajahnya walau keadaan malam temaram. Wajahnya manis, kulitnya kuning terang, rambutnya sedikit ikal dengan tubuh tinggi ideal. Kalau bisa diperkirakan umurnya, mungkin sekitar 20 tahunan.
"Kamu tinggal di sini? Cucunya Eyang Woto?" Tanyanya lagi.
"I-iya, kok tau Eyangku?" Tanyaku lagi tak mau kalah.
"Ya jelas tau, rumahku di sana. Di kompleks TNI sebelah situ." Katanya menunjuk rumahnya.
"Bye, dek. Sampai ketemu lagi." Katanya melambaikan tangan padaku.
Aku hanya diam, melihatnya berjalan menyusuri jalan setapak menuju kompleks rumahnya.
"Orang aneh." Kataku mendeskripsikan pria itu dalam beberapa menit percakapan kami.
Aku masuk ke dalam rumah, Ayah dan Ibuku sudah bersiap untuk pulang. Meninggalkanku sendiri di sini bersama Eyang. Aku janji akan sering pulang ke rumah, tapi Ibuku tak mengizinkan. Kata Ibu, ongkos pulang bisa digunakan untuk keperluanku di sini. Aku pasrah, malas berdebat yang ujungnya tetap saja aku yang harus mengalah. Kusunggingkan senyum di bibirku lalu kulambaikan tangan pada mereka, tak mau membuat keduanya khawatir.