Tampak guru itu memasuki ruangan. Dan dia adalah pria yang tadi pagi berbagi becak denganku. Yang wajahnya tak asing di otakku. Ah sudahlah, semakin berpikir keras semakin aku tak ingat. Ini memang salah satu kelemahanku. Susah mengingat wajah orang yang baru sekali atau dua kali bertemu. Aku akan mudah ingat jika pertemuan dengan orang itu intens, jika tidak aku akan cepat melupakan wajah mereka. Bukannya sombong, memang beginilah keadaannya. Banyak teman yang salah mengerti padaku, mereka mengira aku orang yang dingin. Padahal itu karena aku benar-benar lupa pada wajah mereka karena baru beberapa kali berjumpa saja.
"Ayo. Semuanya duduk. Kita mulai kelasnya." Ujar guru itu.
Semua siswa diam, mulai memperhatikan guru itu berbicara.
"Selamat pagi, anak-anak. Perkenalkan saya Andaru Pradipta Lakeswara. Biasa dipanggil Pak Dipta. Saya akan menjadi wali kelas sementara kalian. Karena Bu Ira wali kelas kalian sedang cuti melahirkan." Jelas Pak Dipta, itu namanya.
Selang berapa detik, ada yang mengetuk pintu kelas.
Tok tok
"Masuk." Pak Dipta meminta orang di balik pintu untuk masuk ke dalam.
Begitu pintu dibuka, ternyata seorang siswa lelaki yang terlambat masuk ke dalam kelas. Aku langsung tersenyum, itu artinya aku tidak duduk sendirian hari ini. Syukurlah.
"Maaf, Pak. Saya terlambat." Ucapnya dengan suara lembut tapi manly.
"Sudah lapor ke ruang BK?" Tanya Pak Dipta padanya.
"Belum, Pak." Jawabnya singkat.
Pak Dipta menghelas nafasnya.
"Ya sudah. Duduk dulu. Kamu saya ampuni kali ini. Besok lagi jangan terlambat." Pak Dipta memintanya duduk.
"Terima kasih, Pak." Jawabnya singkat. Langsung duduk di bangku sebelahku. Satu-satunya bangku yang tersisa.
"Baik, saya lanjutkan. Untuk menjadi perhatian, jika kalian terlambat datang ke sekolah silakan lapor dulu ke BK. Tidak akan kami hukum, hanya menguji kejujuran kalian. Itu saja. Jadi jangan takut. Mengerti?" Terang Pak Dipta.
"Mengerti, Pak." Jawab kami semua serempak.
"Selanjutnya kita pilih ketua kelas dulu. Ada yang mau mencalonkan diri?" Tanya Pak Dipta.
Kami semua terdiam, tak ada yang mau menjadi ketua kelas. Istilahnya tak akan ada yang mau dijadiakan tumbal. Aku pun begitu, tak mau menjadi ketua kelas atau apapun dalam struktur organisasi. Paling malas dengan urusan seperti itu. Repot. Bukan aku banget.
"Baik, kalau tak ada yang mau, bapak yang akan tentukan." Pak Dipta mengambil buku absensi kelas, membukanya perlahan.
Tiba-tiba,
"Kamu. Siapa namanya?" Tanyanya padaku. Membuatku terbengong seketika.
"Saya, Pak?" Tanyaku memastikan apakah dia tidak salah menunjukku atau mungkin siswa lain di belakangku."
"Iya, sudah jelas arah telunjuk saya, kan?" Kata Pak Dipta padaku.