Mudahnya rumor yang menyebar dengan cepat adalah hal yang paling Raina tidak sukai di sekolah. Saat ini, sepanjang koridor sekolah desas-desus tentang dirinya beredar dengan cepat. Raina ingin menghindar. Kalau bisa, ia ingin berlari sekencang mungkin meninggalkan kerumunan orang yang membicarakannya. Namun, apa daya. Kakinya patah. Tahap penyembuhan yang sudah ia lakukan selama dua pekan tanpa absen memang membuahkan hasil. Tangan kanannya sudah bisa digerakkan. Raina juga tidak lagi memakai kursi roda seperti di rumah sakit. Sebagai gantinya, ia harus menggunakan kruk. Semua ini karena Rad!
Setiap kalimat yang terdengar membicarakan Raina, dalam hati Raina akan menggerutu. Menyalahkan Rad. Memang benar ini karena Rad, bukan?
"Kudengar, dia menjatuhkan diri dari lantai dua."
"Apa nilainya turun? Sejak SMP, dia selalu berambisi meraih peringkat pertama. Mungkin, dia akan stres jika nilainya turun satu poin saja. Orang yang ambisius terkadang berbahaya."
"Aku nggak nyangka, murid sepintar dia bisa mencoba untuk suicide."
Apa Raina tidak salah dengar? Suicide? Ambisius? Menjengkelkan. Mungkin, bagian ambisiusnya memang benar. Raina menutup mata sebentar, mengatur napas, lalu membuka matanya lagi. Melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Pantas saja dia nggak punya teman. Rupanya, dia tertekan."
"Kudengar, dia memisahkan diri dari orang-orang. Apa dia anti sosial?"
"Sstt, jangan keras-keras. Dia bisa dengar. Kita yang akan disalahkan jika sampai menambah beban pikirannya. Lihat, dia melihat kita."
Bagaimana Raina tidak dengar? Semua itu bukanlah bisikan! Seperti sebuah pembicaraan terang-terangan agar Raina mendengarnya. Raina mencengkeram kruknya dan mencoba untuk menggerakkan kruk itu secepat mungkin. Raina ingin cepat masuk ke dalam kelas. Menenggelamkan wajahnya di atas tumpukan buku tebal.
"Lihat! Dia kelihatan marah. Apa dia bipolar?"
Raina mendengkus keras. Melirik salah satu siswi yang baru saja mengatakan itu. Apa dia psikiater? Tentu bukan. Apa dia orang yang mampu dengan mudahnya mengenal karakter seseorang hanya dengan sekali melihat? Tentu saja tidak. Siswi itu menyikut temannya saat pandangan Raina teralih ke arahnya, lalu ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Raina kembali mendengkus keras. Kenapa justifikasi mudah sekali? Sekali lagi, ini semua karena Rad!
Baru saja Raina mendudukkan diri ketika sudah sampai kelas. Gio, ketua kelas memanggil Raina.
"Raina Radiata, dipanggil Bu Retno di ruang BK!" Gio memanggil Raina di samping pintu. Cukup keras sehingga membuat seisi kelas mendengarnya. Raina hanya bisa mengangguk pasrah.
Desas-desus itu kembali berdenging seperti suara sekumpulan lebah. Mereka memandang Raina dengan pandangan bertanya. Langkahnya diperhatikan. Raina benci itu! Raina tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian. Dia juga bukan selebritis. Semua ini karena Rad!
Raina mengetuk pintu ruang BK sebelum masuk. Terlihat Bu Retno sedang menunggunya. Ia duduk setelah dipersilahkan.
"Apa yang terjadi malam itu?" tanya Bu Retno setelah Raina duduk di hadapannya. Bu Retno menyingkirkan tumpukan buku yang menghalangi wajah Raina, Si Lawan Bicara. Dengan begitu, Raina yakin Bu Retno bisa membaca mimik wajahnya. Lama terdiam, Bu Retno kembali bersuara. "Ibu yakin kamu bukanlah orang yang sengaja menjatuhkan diri seperti yang dirumorkan."
"Itu... " Ucapan Raina menggantung. Raina sibuk menunduk dan memainkan kuku tangannya.
"Raina, lihat Ibu. Ceritakan semuanya agar rumor itu bisa segera diluruskan," ujar Bu Retno sangat lembut. Meluruskan stereotip jika semua guru BK menyeramkan dan hanya menangani anak-anak berandal.
Raina menuruti ucapan Bu Retno. Hanya sekilas pandangan, Raina kembali menunduk. Ia kembali memainkan kuku tangannya.
"Itu...kecelakan."
Ucapan Raina tentu tidak semudah itu membuat Bu Retno percaya. Bu Retno mengambil tangan Raina yang berada di pangkuan, lalu mengenggamnya. Ia mengusapnya dengan lembut. Raina mendongkak.
"Kalau kamu tidak ingin bercerita, Ibu tidak akan memaksa. Jangan terlalu memendamnya sendiri. Datanglah kalau kamu siap untuk bercerita," saran Bu Retno masih menatap lurus Raina.
Raina mengangguk pelan.
Bu Retno mengukir sebuah senyuman. Ia melepas genggaman tangannya. "Ibu punya sebuah penawaran." Bu Retno membenarkan posisi kacamata plusnya.
"Ibu lihat kamu selalu sendirian. Ibu tidak akan melarang kamu menikmati waktumu sendiri. Mungkin, kamu lebih nyaman jika sendiri. Hanya saja.. " Ucapan Bu Retno menggantung. Beliau mengetuk-ngetuk meja pelan dengan jemarinya. "Temukan satu atau dua orang teman yang bisa membuatmu nyaman. Tidak harus banyak."
Raina tidak bisa, meski pun Raina ingin. Karena Rad.
"Kamu bisa masuk salah satu ekstrakulikuler," sarannya.
"Saya sudah bergabung dalam KIR, Bu," ujar Raina mencoba menghindar.