Raina tidak terlalu percaya jika dirinya istimewa, tetapi diistimewakan. Sampai-sampai orangtuanya menyiapkan meja tersendiri untuk memajang fotonya. Tepat di sisi sofa ruang tengah terdapat tiga foto Raina dan kedua orang tuanya yang sedang tersenyum lebar menghadap kamera, mengangkat piala dan piagam penghargaan. Semuanya berbingkai. Yang dipajang hanya foto-foto terbaru saat Raina mendapatkan kemenangan dalam suatu ajang perlombaan. Sisanya di simpan dalam sebuah album. Raina tidak pernah keberatan tentang itu.
Ruang tengah adalah tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu bersama orangtua Raina. Bercanda tawa, membahas hal-hal baru atau sekadar menonton berita di televisi. Perpaduan warna abu-abu dan baby pink menambah kesan manis, juga santai. Ditambah dengan lili putih yang bertengger manis dalam vas bunga cantik di atas meja. Raina sangat menyukainya.
Baru beberapa langkah memasuki ruang keluarga Raina mendapat sambutan. Ghista dan Agas terlihat sedang menunggunya. Agas yang membaca sebuah artikel dalam tabletnya dan Ghista yang tiba-tiba berdiri menyambut kedatangannya. Ini tidak biasa. Namun, menjadi biasa ketika terjadi suatu hal. Terlebih, saat Ghista mengatakan kalimat santai, namun memiliki maksud tertentu.
"Anak Mama baru pulang. Ayo sini, duduk dulu."
Ghista merangkul bahu Raina, menuntunnya untuk ikut duduk. Pandangan Raina menunduk. Inilah saatnya, ketika ruang tengah menjelma menjadi ruang interogasi. Ruang dengan perpaduan warna yang manis seketika berubah menjadi warna gelap nan pahit di mata Raina. Entah, kebohongan apa lagi yang akan Raina katakan.
"Kamu sakit?" tanya Ghista pelan.
Raina menunduk, memainkan ujung kukunya.
Ghista mengambil telapak tangan Raina, memisahkan jemarinya yang sedang asyik memainkan kuku.
"Raina, lihat Mama."
Raina menurut. Ia melihat tepat pada netra Ghista.
"Kamu tertekan hingga jatuhin diri? Apa rumor itu benar?"
Lagi-lagi tentang itu. Sudah sampai di telinga Ghista, rupanya. Raina mengalihkan pandangannya. Ia menatap lili putih yang masih segar. "Raina nggak pernah berniat buat jatuhin diri, Ma," bela Raina.
"Lalu, kenapa kamu mecahin lemari kaca tempat piagam kamu terpajang? Kenapa kamu memporak-porandakan kamarmu seperti kapal pecah? Setelah itu, kamu menjatuhkan diri, begitu?"
"Sudah Raina bilang jika Raina nggak pernah ngelakuin itu, itu.. Itu kecelakaan." Sungguh, Raina sangat benci kebohongan. Namun, sekarang ia melakukannya lagi. Rad. Laki-laki itu entah sampai kapan akan mengusiknya. Raina sangat ingin mengatakan jika semua itu ulah Rad. Otaknya berpikir keras setiap terlintas dalam benak Raina untuk mengatakan itu. Bibirnya kelu, enggan bersuara tentang Rad. Bagaimana jika ada korban lagi? Bagaimana jika wanita di hadapan Raina sekarang akan menjadi target korban Rad selanjutnya? Raina terlalu takut.
"Apa permintaan kami terlalu berat saat mengadopsi kamu?"
Mata Raina mulai berkaca. Raina menarik tangannya yang digenggam Ghista. Kembali memainkan ujung kukunya.
"Apa permintaan kami agar kamu selalu mendapat nilai yang sempurna terlalu berat?"
Raina menggeleng pelan.