Seseorang sedang sibuk membolak-balik halaman buku. Di depannya terdapat meja dengan tumpukan buku berserakan. Tebal tiap buku sekitar lima sentimeter. Di samping tumpukan buku, terbuka komputer jinjing yang menampilkan laman web. Dia Rad, berbalut kaos lengan pendek warna abu-abu dan celana hitam panjang berbahan denim. Kamarnya memiliki warna senada.
Di dinding sebelah timur, terdapat sebuah peta besar. Terdapat kertas-kertas kecil yang tertempel di tiap titiknya. Rad menyebutnya sebagai peta impian.
Sebuah alarm terdengar nyaring. Pukul empat sore. Rad segera menutup laman webnya. Lalu membuka rekaman CCTV. Buku-bukunya ia kesampingkan. Rad bergegas mengambil kunci motor dan helm di atas nakas. Bertepatan dengan itu, pintu kamar dibuka dari luar, menampilkan seseorang yang baru saja datang. Dia mengenakan pakaian yang cenderung kontras dengan pakaian Rad. Sweter kuning cerah dan celana pendek selutut warna cokelat terang, rambutnya dibiarkan berantakan.
"Sudah mau pergi?" tanyanya yang masih berdiri di sisi pintu.
Rad mengangguk sambil memakai jaket.
Orang itu berjalan masuk ke kamar Rad. Sementara, Rad melangkah keluar.
Dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ia melanjutkan, "Aku rasa kamu sudah keterlaluan."
Langkah Rad terhenti di sisi pintu. Tanpa perlu berbalik, Rad berucap, "Awasi saja dia."
Dengan santai, orang itu melangkah pelan dan duduk di depan komputer jinjing yang menampilkan rekaman CCTV. "Apa lima tahun masih kurang? Dia sudah cukup menderita. Sudah saatnya kamu melepasnya."
Rad menghela napas pelan. "Sebentar lagi. Tujuanku hampir dekat," ucap Rad. Rad berlalu pergi, tidak Rad pedulikan teriakan orang itu yang terus memanggil dan mengejarnya sampai di ujung pintu.
*
Jalanan menanjak. Gunung dapat terlihat dalam pandangan mata. Hamparan perkebunan teh hijau dan beberapa pohon pinus di sekitarnya menambah panorama yang indah. Rad berhenti di sisi jalan. Dia melepas helmnya. Menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Sudah sore memang, namun udara masih sangat bersih. Rad menyukainya.
Segera, Rad turun dari motornya. Membiarkan motor itu terparkir di sisi jalan. Rad berjalan di antara hamparan perkebunan teh seluas 2.500 hektar. Jalan kecil menanjak dan berbatu. Masih sama seperti dulu. Rad melangkah pelan sambil memerhatikan sekeliling. Semburat jingga mulai menampakkan diri. Saatnya melepas mentari kembali ke peraduannya. Saatnya Rad menyambut malam dengan seribu bintang gemerlapnya.
Setiap hari, Rad selalu menyempatkan diri unruk datang ke sini. Terlebih sore hari menuju petang. Tujuannya hanya pohon pinus kecil di atas perbukitan. Ah, sekarang tidak lagi kecil, pohon pinus yang Rad amati sudah menjulang tinggi mengalahkan tinggi badan Rad. Di sampingnya, sang ibu pinus masih berdiri kokoh. Pohon pinus yang ukurannya lebih besar. Saat Rad kecil, Rad menamainya ibu pinus karena bersebelahan dengan pinus kecil seukuran pundak Rad waktu itu. Pinus kecil yang sekarang tingginya berselisih tak terlalu jauh dari ibu pinus. Ya, ada dua pohon pinus yang Rad amati sejak terdampar di sini.
Rad duduk bersandar pada ibu pinus, memejamkan mata, menikmati embusan angin sore yang menggelitik permukaan kulitnya. Rad tertawa pelan, mengingat kejadian lucu. Tentang layang-layang biru. Bibirnya bisa membentuk lengkungan indah. Lisannya bisa mengeluarkan alunan tawa. Namun, tidak dengan mata dan hatinya.