Rumah yang Raina tempati adalah rumah yang kedua setelah Ghista dan Agas membawanya pindah. Anehnya, Ghista selalu menyiapkan ruangan di samping kamar Raina, begitu pun dengan rumah lamanya. Raina tidak pernah tahu ruang apa itu. Ghista tidak pernah bercerita dan Raina takut untuk sekadar bertanya. Ruangan itu selalu terkunci. Entah apa isi di dalamnya. Raina tidak pernah tahu. Raina juga penasaran. Rasa penasarannya memuncak malam ini. Ketika Agas dan Ghista tidak ada di rumah, Raina melangkah menuju ruangan itu. Baru saja ia ingin mengintip dari lubang kunci, Ghista datang mengejutkannya.
"Sedang apa?" tanya Ghista yang sudah berada di belakang Raina. Raina bahkan tidak mendengar deru mesin mobil datang karena rasa penasarannya.
Raina memainkan ujung kukunya. "Nggak, Ma. Raina cuma-"
"Kamu sudah mengerjakan tugas sekolahmu?" Ghista merangkul pundak Raina. Ia membawa Raina kembali ke kamarnya. Namun, Raina tahu pertanyaan itu hanya sebuah pengalihan.
Raina mengagguk. "Sudah, Ma," jawab Raina.
Ghista dan Raina duduk di sisi ranjang. "Kalau begitu waktunya tidur. Sudah sangat larut, 'kan?"
Raina mengangguk. Tidak lupa Ghista mengelus surai hitam Raina sebelum melenggang pergi.
"Sebenarnya, ruang apa itu, Ma?" tanya Raina hati-hati. Untuk sekian lama, Raina baru bertanya. "Raina cuma penasaran kenapa Mama selalu nyiapin ruangan sebelah kamar Raina setiap kita pindah rumah?"
Ucapan Raina membuat langkah Ghista berhenti di sisi pintu. Ghista berbalik. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. "Ruangan kesayangan Mama."
Ghista melangkah ke arah Raina. Duduk di sisi puteri angkatnya. "Raina anak baik, bukan?"
Raina tidak menjawab. Ia sibuk menelisik ke dalam mata Ghista yang sedang menyembunyikan sesuatu. "Akan tiba saatnya, ruangan itu terbuka lebar dan kamu nggak akan penasaran lagi. Jadi, Raina bisa menunggu, 'kan?" Ghista menyelipkan anak rambut Raina ke belakang telinga. "Sampai saatnya tiba, jangan pernah membuka atau sekadar mengintip melalui lubang kunci lagi. Kamu mengerti, 'kan?"
Bagai sebuah hipnotis, Raina mengangguk patuh. Ia tidak mungkin membantah ucapan Ghista yang sudah mau mengadopsinya. Namun, tetap saja, rasa penasaran masih menjalar di pikirannya. Entah kapan Raina akan bertahan dengan segala pemikirannya tentang ruangan itu.
*
Rasa penasaran mulai menyeruak kembali ketika Raina membuka mata. Sesuatu mengusiknya dari ruangan sebelah. Masih pukul 01:00, mata Raina terbuka lebar. Lampu kamarnya dibiarkan tidak menyala. Hanya ada lampu kecil berbentuk beruang yang sedikit memberi cahaya agar tidak terlalu gelap.
Raina segera bangkit dan merapat di dinding sebelah barat. Pembatas kamarnya dengan ruangan itu. Raina mencoba mendengarkan lagi. Sesuatu yang mengusiknya. Sebuah tangisan malam. Isakannya jelas terdengar. Seorang perempuan. Bulu kuduk Raina berdiri ketika mendengarnya. Raina buru-buru menggulung dirinya ke dalam selimut tebal. Namun, itu tidak berlangsung lama. Kepala Raina menyebul dan mulai mendengar lagi. Ia tidak bisa tidur jika begini terus. Isakan itu bukanlah kali pertama yang Raina dengar. Malam-malam sebelumnya juga. Raina ingin berlari ke kamar orangtuanya atau mengajak Ghista untuk menemaninya. Namun, Raina sadar jika ia bukanlah anak kecil lagi. Apalagi untuk menuju kamar orangtuanya, Raina harus melewati ruangan itu. Kemudian, menuju tangga, barulah turun ke lantai bawah. Raina menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut lagi ketika mendengar satu kalimat parau. "Cepat kembali."
*
Rad tidak menghubungi Raina selama beberapa hari. Bukannya Raina ingin Rad menghubunginya lagi. Sama sekali tidak. Raina seharusnya senang, namun ia justru merasa khawatir. Menerka-nerka, apa rencana Rad kali ini? Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia masih mengawasinya? Begitulah yang Raina pikirkan setelah bangun dari bunga tidurnya. Raina menguap sebentar. Sebenarnya, ia masih mengantuk. Malam tadi, Raina tidak cukup tidur. Ia susah untuk terlelap hingga jam 3 pagi. Raina meregangkan otot-ototnya sebelum beranjak menuju balkon.
Melihat pintu balkon, Raina teringat kejadian malam itu. Saat seseorang mendorongnya tanpa ampun hingga menabrak tanah. Pandangan Raina menyapu ke setiap sudut kamar. Rad bisa saja bersembunyi di balik tirai yang bersebelahan dengan meja belajar. Raina merutuk keras dalam hati. Ia masih saja mengingta kejadian itu.
Raina membuka pintu balkon, membiarkan udara segar di pagi hari menyapanya. Raina mulai melihat ke sisi kiri dan kanan pintu balkon. Bisa saja, Rad tidak masuk ke kamarnya. Dia bisa bersembunyi di samping pintu balkon bagian luar. Raina menghela napas pelan.
Raina melihat sekeliling. Hal yang paling Raina suka adalah melihat rerumputan hijau di halaman rumahnya. Juga, gerobak bubur kacang hijau Pak Agus yang biasa melewati jalanan di depan rumah Raina. Tetapi, Raina belum melihat gerobak Pak Agus. Padahal, ia ingin segera menyantap bubur kacang favoritnya.
Pandangan Raina terhenti ke arah seseorang yang melambaikan tangan. Tepat di depan pintu gerbang rumah. Seseorang yang memakai kaus berwarna biru dan celana olahraga panjang berwarna putih dengan garis tepi yang berwarna biru juga. Rambutnya masih saja acak-acakan. Entah itu memang gayanya atau karena malas menyisir rambut. Dia Rezan, melambai ke arah Raina dengan senyum lebarnya.
Rezan merogoh ponselnya dari dalam saku dan melambaikannya pada Raina. Raina berpikir sejenak, sebelum kakinya melangkah menuju nakas. Raina membuka kunci ponsel. Terdapat pesan masuk.
Lari pagi, Raina. Ayo keluar, ajaknya.
Baru saja Raina mengetik sesuatu, Rezan lebih dulu mengirim pesan selanjutnya.
Keluar atau aku yang masuk. Aku akan izin pada orangtuamu. Sepertinya, itu bagus.