Raina tidak pernah tahu, perasaan apa yang menggambarkannya saat ini. Ia terlalu sibuk memilih pakaian. Raina mengeluarkannya dari dalam lemari dan mencari baju terbaik yang akan dipakainya. Senyumnya tidak kunjung luntur sepanjang memilih. Raina melihat jam di dinding kamarnya, masih pukul 4 sore. Sejenak, Raina memandangi pakaian yang dipilihnya. Akan sangat aneh jika Raina memilihnya. Raina tidak ingin ke pesta, untuk apa dia memilih gaun selutut dengan penuh manik bunga? Akhirnya, Raina menyerah. Ia memilih baju biasa untuk dipakainya. Akan terlihat biasa saja jika bertemu dengan Rezan nanti.
Dering ponselnya berbunyi. Dari Rezan.
"Hei, Raina. Apa kamu berubah pikiran? Maksudku, apa kamu akan datang?" tanya Rezan.
Terdapat suara tawa, jeritan histeris yang mungkin dari beberapa orang yang sedang menaiki wahana, serta audio para pedagang yang menawarkan dagangannya di antara suara Rezan.
Raina menggulung senyum. "Aku akan ke sana."
"Oke. Dan.. Hei Raina, jangan berdandan lagi, ya. Kita akan naik wahana yang dijamin buat rambutmu berantakan. Aku tunggu di loket, dah!," ucap Rezan diselingi tawa renyahnya.
Nyatanya, tidak seperti ucapan Rezan. Kini, Raina mengoleskan bedak tipis di wajahnya. Tipis sekali, tidak akan terlalu kelihatan. Senyumnya tidak pernah lepas sepanjang Raina menghadap cermin.
Dering ponsel berbunyi lagi. Raina dengan cepat mengangkatnya. "Tunggu aku Rezan. Sebentar lagi aku ke sana."
"Rezan?"
Mendengar pengulangan kata dari suara yang sangat dikenalnya, Raina menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia membaca nama kontak orang yang sedang menghubunginya. Si Menyebalkan Rad. Raina menegang seketika. Didekatkan ponselnya kembali ke telinga.
"Namanya Rezan. Rezan Aditya. Dia sedang menunggumu di festival kembang api, bukan?"
Raina kira Rad tidak akan menghubunginya hari ini dan hari-hari selanjutnya.
"Kamu juga menunggu panggilan darinya, 'kan? Kamu melupakan pesanku saat di danau?"
Raina tidak melupakannya. Namun, apakah memang benar ia sedang jatuh cinta? Atau sebatas mengagumi seseorang saja?
"Batalkan janjimu. Jangan ke sana."
Tidak. Raina tidak akan membatalkan ajakan Rezan untuk pergi ke festival. Ia teringat ucapan Rezan saat lari pagi bersamanya kemarin. Ia harus bisa lepas dari bayang-bayang Rad. Rad bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang penakut yang enggan menampakkan diri. Ia hanya seorang pengancam. Raina membenci Rad dan kali ini, ia akan melanggar ucapan Rad.
"Aku akan tetap pergi. Jangan mengaturku lagi."
Tidak seperti biasanya, kali ini Rainalah yang memutuskan panggilan dari Rad. Raina bergegas mengambil tas kecil dan berderap menuruni tangga.
Dengan menaiki taksi, Raina sampai di festival kembang api. Raina melihat pemandangan di depannya. Orang-orang berlalu lalang. Anak kecil tertawa memegang balon. Remaja seusianya yang memakan permen kapas dan beberapa orang dewasa yang antri membeli makanan. Raina tidak percaya ia bisa berada di sini, dekat dengan keramaian. Berbeda dengan kesehariannya yang jauh dari hiruk pikuk atau kebisingan. Meski begitu, Raina menyukai keduanya. Keramaian dan ketenangan. Dengan menggenggam tali tas di bahunya, Raina berderap ke arah loket dengan langkah gembira. Senyumnya ia kembangkan. Tidak sabar menunggu untuk masuk dan menaiki berbagai wahana seperti yang dikatakan Rezan. Setelah sampai di loket, Raina tidak menemukan Rezan. Batang hidungnya pun tidak terlihat. Ia melihat sekeliling. Mungkin Rezan sedang membeli sesuatu, pikir Raina. Ia menunggu dan menunggu. Sudah lebih dari satu jam. Langit mulai menggelap. Namun, Rezan tak kunjung datang.