Malam semakin larut, Rad masih terjaga. Heningnya malam membuat suara-suara di dalam pikiranya berseru dengan lantang. Sebagian dalam bentuk pernyataan dan sebagian lagi dalam bentuk pertanyaan. Malam yang tenang, namun sungguh berisik di dalam sana.
Bagaimana hasilnya?
Rad, kamu harus lulus.
Tidakkah kamu sudah bersikap keterlaluan padanya?
Rad, tujuanmu hampir dekat. Lanjutkan.
Semuanya nyata, sudahkah kamu bangun dari mimpimu?
Rad, kamu keras kepala.
Bagaimana rasanya, Rad? Bagian paling rapuh, hatimu ditusuk teramat dalam.
Hentikan Rad.
Jangan lepaskan Raina. Biar dia tahu siapa dirimu yang sebenarnya.
Balas dendam tidak akan membuat hatimu lega. Dia akan membuat hatimu semakin kosong.
Rad, kamu hanya butuh pembuktian.
Tidak. Kamu tidak butuh itu. Yang kamu butuhkan adalah keberadaanmu.
Rad, bisakah kamu pergi ke pohon pinus itu lagi? Sepertinya, kamu butuh mengenang sesuatu.
"Diam," lirih Rad pada dirinya sendiri.
Lepaskan segalanya Rad. Kamu sudah cukup lelah. Putar haluan. Jangan dilanjutkan.
Rad mencengkeram erat cangkir berisi kopi yang ia pegang. Ia mencoba bertahan untuk tidak membantingnya sekencang mungkin. Dengan sedikit menggeram, ia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Pikiran-pikiran itu mengganggunya.
Rad menegakkan kembali tubuhnya setelah merasa sedikit tenang. Ia bersandar pada kursi yang ia duduki dan menatap sekilas pada artikel yang sedang ia baca di komputer jinjingnya.
Kamu bodoh, Rad. Dia tidak bisa tumbang begitu saja.
Kamu keliru Rad. Lukamu hanya akan semakin menganga.
"Diam," lirih Rad lagi. Matanya menatap langit-langit, lalu beralih menatap kosong secangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Suara-suara itu tetap kembali. Lebih banyak berkomentar dan menyudutkannya. Berbagai pertanyaan pun kian bermunculan.
Bagaimana, Rad? Apa yang akan kamu lakukan?
Kamu terbuang, Rad. Kamu tersingkirkan.
"Aku bilang diam!" teriak Rad. Detik berikutnya, suara pecahan kemarik terdengar memenuhi setiap sudut kamar. Rad menatap kosong cangkirnya yang telah berserak menjadi beberapa bagian. Malam yang tenang seharusnya ia lewati dengan tenang juga. Rad butuh ketenangan bukan kegaduhan yang merajalela dalam kepalanya.
Ia beranjak dari kursinya dan memilih duduk bersandar pada kaki meja, menatap kosong pecahan keramik yang berserakan di depannya. Rad mungkin melewati batas, namun suara-suara itu juga. Mereka selalu muncul pada malam yang sepi atau kala Rad sedang sendiri. Suara-suara itu menggema di kepalanya, muncul dalam benak dan pikiran Rad. Mereka nyata, namun tidak dapat terdengar oleh telinga.
Seseorang datang membuka pintu kamar Rad dengan tergesa. Ia memakai kaus pendek hijau mint dengan sebuah tulisan di depannya dan celana selutut longgar berwarna navy. Matanya melotot melihat pecahan keramik dari sebuah cangkir berserakan di lantai. Sisa-sisa kopi juga mengotori lantai.
Orang itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia bersender di sisi pintu, menatap Si Pelempar cangkir dengan mulut nyaris terbuka. Ia menghela napas pelan.
Sementara, Rad dengan santainya melangkah menuju balkon. Ia membuka pintunya dan embiarkan dinginnya malam menyapa.
Rad menatap langit malam. Ia menghirup udara sebanyak mungkin, lalu mengeluarkannya perlahan.