Rad tidak benar-benar mengerti, apa yang dilakukannya sampai saat ini. Apakah ia hanya melarikan diri? Dari dirinya sendiri atau dari orang lain. Apakah ia hanya sembunyi? Tidak ingin terlihat dan tidak ingin dilihat. Apakah ia hanya berpura-pura? Menganggap dirinya tidak apa-apa, padahal sebaliknya.
Rad tidak tahu, apakah yang dilakukannya akan membuahkan hasil atau hanya angin kosong yang ia dapat?
Rad tidak tahu, apakah ia yang melukai orang lain atau ia yang sengaja menambah luka untuk dirinya sendiri?
Rad marah.
Rad kecewa.
Rad ingin berteriak pada dunia. Ia ingin semua orang tahu jika ia.. Jika ia tidak terbuang.
Malam semakin larut, Rad enggan pulang. Ia enggan bersuara pada Rezan yang akan mengungkit hal itu lagi. Mungkin benar apa yang dikatakan Rezan, ia harus berhenti menjadi kelelawar. Namun, tidak untuk hari ini. Rad menapaki lantai 14 gedung yang baru setengah jadi. Dalam kegelapan, ia berdiri menatap gemerlap kota di malam hari. Sebagian meredup, sebagian masih sedikit terang. Anak-anak rambutnya berayun diterpa angin.
Rad memandangi telapak tangan kanannya. Terdapat bekas luka gores yang melintang di antara garis tangannya. Bekasnya tidak hilang, rasa sakitnya masih menjalar, meski pun sudah bertahun-tahun lamanya. Bukan perih di tangannya, namun karena sesuatu yang menghantam hatinya kala itu. Di tangan kanan Rad yang menyimpan luka, ada banyak kenangan yang masih menganga. Enggan lupa, enggan sirna.
Bekas cakaran mengikuti luka gores yang Rad miliki, tepat di pergelangan tangannya. Bekas cakaran yang didapatnya tujuh tahun yang lalu. Kini, hanya terlihat garis-garis tipis sebagai jejaknya yang tidak kunjung pudar. Rad terkekeh geli mengingat kejadian saat ia mendapatkan cakaran yang tidak bisa dikatakan tidak sakit. Bekas cakaran itu didapatnya dari seorang gadis kecil yang belum sempat memotong kuku. Seorang gadis kecil yang selalu mengikutinya, selalu tersenyum manis di hadapannya, meski beberapa kali Rad telah mengusirnya. Gadis kecil bersepatu merah yang selalu mengekori Rad ke mana pun Rad pergi. Gadis kecil kesepian yang tidak memiliki banyak teman. Gadis kecil yang berusaha berteman dengannya, meski Rad selalu menghindar. Gadis kecil yang tak ingin Rad pergi. Gadis kecil yang merengek karena Rad hilang dari pandangannya. Gadis kecil yang tidak ingin ditinggalkan dan tidak ingin kehilangan.
Rad masih mengingat bagaimana wajah merah padam gadis kecil itu. Mulutnya yang menggerutu. Isakannya tak kunjung berhenti. Juga, lelehan air mata yang keluar dari kedua mata bulatnya. Ia marah. Marah karena akan Rad tinggalkan. Ia bahkan tak segan-segan memukuli Rad. Berkali-kali hingga ia lelah sendiri. Rad tidak bereaksi apa pun. Rad membiarkannya sampai pukulannya kian melemah. Setelah tidak lagi memukul, Rad menunggunya berhenti menangis di halaman panti asuhan Bu Rasti dan disaksikan oleh anak-anak lain.
Rad berhasil, isakan gadis kecil itu berhenti, air matanya tidak lagi jatuh. Namun, matanya yang merah menatap tajam Rad. Gadis kecil itu sangat marah. Puncaknya, ia mencakar pergelangan tangan Rad yang hendak menyapu sisa-sisa air mata di wajahnya. Ia mencakar dengan sekuat tenaga. Kuku-kukunya mengoyak permukaan kulit Rad hingga berdarah. Rad membeku. Ia tidak meringis atau pun menangis. Ia menahannya. Gadis kecil itu pergi, berhambur ke dalam pelukan Bu Rasti, lalu beranjak memasuki panti. Bu Rasti tersenyum tipis ke arah Rad dan kedua orangtua angkatnya, ia mengangguk sebagai isyarat untuk tidak apa-apa membawa Rad pergi sekarang.
Rad berhenti terkekeh saat angin malam berembus pelan menerbangkan anak-anak rambutnya, seolah mengingatkannya tentang suatu hal. Rad sadar jika hari ini, ia baru saja mengenang kenangan manis yang berubah pahit. Rad sadar, ia baru saja tersenyum untuk gadis kecil yang kini ia benci. Gadis kecilnya, puteri dari negeri dongengnya yang telah menjelma menjadi sesosok monster bagi Rad.
Rad mengepalkan tangannya yang memiliki luka itu. Lalu, mulai menerawang jauh. Rad mengembuskan napas lelah. Lelah karena sikapnya selama ini. Apa ia sudah terlalu jauh?
Puas melihat gemerlap kota kecil di bawahnya, Rad merogoh saku jaketnya dan mengambil sebuah benda pipih. Rad meletakkannya di telinga setelah tersambung.
"Dad?"
"Rad?" Yang ditelepon terdengar terkejut. Sedetik kemudian, ia mendengkus pelan. "Panggilan itu masih saja terasa asing di telinga Dad. Kenapa nggak panggil Papa?"
Rad diam, tidak menjawab.