Sebenarnya, Raina menyukai perpustakaan pribadi keluarganya. Ia juga menyukai buku-buku yang tersusun rapih. Rak bukunya dibuat melingkar. Tinggi raknya sekitar tiga sampai empat meter. Terdapat satu jendela besar di sisi barat ruangan, cocok untuk melihat matahari terbenam. Melalui jendela itu juga, Raina bisa melihat taman bunga krisan di depannya.
Dinding perpustakaan didesain serba putih dengan karpet abu-abu sebagai alasnya. Satu meja dengan empat kursi terletak di tengah ruangan. Di sudut ruangan terdapat bunga Peace Lily yang dipercaya mampu menyerap polutan udara. Juga, sebagai penambah kesan asri meski di dalam ruangan.
Setiap pindah rumah, orangtua Raina pasti memilih ruangan super besar sebagai tempat menyimpan buku-buku mereka. Raina tidak membenci perpustakaan. Ia menyukainya. Terkadang, ia akan singgah sampai beberapa jam atau sekadar mengambil beberapa buku untuk dibaca di kamarnya.
Lain halnya dalam keadaan tertekan. Raina tidak menyukainya. Sangat tidak menyukainya. Jika nilai 50 ke bawah yang ia dapat, Agas dan Ghista akan membawanya kemari. Mereka mengambilkan beberapa buku untuk Raina baca hingga petang menjelang. Ketika Agas dan Ghista membuka pintu, mereka akan bertanya, "Berapa banyak yang kamu baca?" Selanjutnya diikuti pertanyaan seputar pemahaman isi buku. Karena itu, Raina tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Nilai 50 yang pernah ia dapat itu karena Raina mengantuk di dalam kelas saat SMP, sehingga waktu ujian lebih dulu habis. Ia kelelahan karena menghafal kosa kata bahasa asing sampai larut malam.
Raina meneliti rak buku, mencari buku yang cocok untuk mengisi liburan sambil menunggu orangtuanya mengajak Raina pergi ke puncak. Ya, liburan semester ganjil telah ia dapatkan. Ujian pun telah selesai. Raina mendapat peringkat pertama, seperti biasa.
Matanya tertuju pada salah satu buku di barisan paling atas. Raina melihat sekeliling untuk mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengambil buku itu. Tangga berdiri yang biasa digunakan telah rusak dan belum ada penggantunya. Mata Raina melihat ke arah kursi yang bisa menjadi pijakan. Saat bersusah payah menarik kursi, pandangannya beralih ke arah pintu yang entah sejak kapan terbuka. Memperlihatkan seorang laki-laki asing yang bersandar pada sisi pintu. Tangannya bersedekap, ia memakai kaus pendek berwarna putih dengan sedikit tulisan, celana hitam panjang dan sepatu abu-abu dengan tepi berwarna putih. Rambutnya hitam kecokelatan, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sebagian menjuntai sampai ke dahi. Ia juga memakai tas ransel yang dipakai hanya pada salah satu bahunya. Laki-laki itu cukup tinggi, melebihi tinggi badan Rezan. Mungkin, sekitar 1,8 meter. Garis wajahnya yang tegas dan tatapannya yang tajam melihat ke arah Raina.
Raina mengurungkan niatnya untuk menarik kursi. Ia sedikit mendekat. "Maaf, siapa?" tanya Raina.
Alih-alih menjawab, laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Berjalan pelan memasuki perpustakaan, melewati Raina yang masih melihatnya dengan pandangan bertanya. Jemari laki-laki asing itu menyentuh dengan lembut buku-buku yang tersusun rapih di rak. Hingga tiba di depan jendela besar sebelah barat, ia berhenti. Memandang takjub cahaya jingga yang mulai memasuki ruangan.
Tidak ingin rasa keingintahuan Raina semakin besar, Raina kembali bertanya. "Siapa?" tanya Raina lagi yang tidak mendapat jawaban.
Raina berpikir sejenak sebelum bertanya lagi. "Teman Papa?" Laki-laki itu diam. Enggan menoleh atau pun menatap Raina, fokusnya hanya pada cahaya matahari yang mulai berganti gelapnya malam. Saat itu, binar kekaguman di balik matanya menghilang. Tergantikan dengan tatapan dingin tak bersahabat.
Raina kembali berpikir, tidak mungkin teman Papa-nya. Seingat Raina, Papa-nya hanya berteman dengan laki-laki yang tidak jauh dari usianya.
"Anak teman Papa?" tanya Raina lagi, ia harus bersusah payah mendongkak agar bisa melihat wajah Si Lawan Bicara. Berhasil. Laki-laki itu menoleh sekilas, lalu pandangannya kembali teralih pada jendela besar di hadapannya.
Melihat gerak-gerik yang mencurigakan, Raina segera beranjak dari tempatnya. Ia harus mencari tahu. Ia juga tidak merasa nyaman berada satu ruangan dengan laki-laki asing yang memiliki tatapan sulit diartikan.
Saat hampir keluar dari pintu, ia berpapasan dengan Bi Hani, salah satu asisten rumah tangga di rumah Raina. Bi Hani membawa empat cangkir dengan uap yang masih terlihat jelas. Dua cangkir berisi teh hijau dan kopi, dua lagi berisi teh chamomile.
"Dia siapa, Bi?" tanya Raina.
Bi Hani mengalihkan pandangannya dari Raina, seperti menyembunyikan sesuatu. Belum sempat menjawab, Ghista datang dengan tergopoh-gopoh.
"Di mana dia?"
"Di dalam, Bu," jawab Bi Hani.
Ghista berderap masuk ke dalam perpustakaan. Diikuti Bi Hani yang meletakkan empat cangkir beruap di atas meja, lalu ia pamit undur diri. Ghista berjalan gontai ke arah laki-laki asing yang memunggunginya. Namun Raina tahu, bahu Ghista bergetar. Ketika laki-laki itu berbalik, barulah tangis Ghista pecah. Ia menutup mulutnya, tidak percaya dengan yang ia lihat. Isakannya juga terdengar nyaring memenuhi ruangan. Tanpa aba-aba, Ghista berlari ke arah laki-laki asing itu, lalu merengkuhnya. Ia sampai harus berjinjit dan laki-laki itu harus sedikit menunduk.
Ghista terus memeluk laki-laki yang tidak membalas pelukannya. Isakannya masih terdengar. Untuk pertama kalinya, Raina melihat Ghista menangis tersedu-sedu seperti ini. Sementara, laki-laki itu tidak menampilkan ekspresi apa pun.
Raina yang sedari tadi hanya berada di sisi pintu mulai mendekati pertemuan mengharukan keduanya. Ia ingin tahu apa yang terjadi meski ia tidak tahu siapa laki-laki asing itu. Raina berhenti dari jarak dua meter. Entah kenapa ia tidak ingin melanjutkan langkahnya lebih dekat.
Ghista memeluk laki-laki itu semakin erat, meski tidak berbalas.
"Akhirnya, kamu kembali," ucapnya dengan suara parau. Suara yang sama dengan suara yang Raina dengar dari ruangan di sebelah kamarnya. Tangisan tengah malam itu.
Tidak lama, Agas datang. Pandangannya sama terkejutnya dengan Ghista saat melihat laki-laki itu. Namun, ia hanya bergeming di sisi pintu. Semua itu membuat Raina semakin bingung.
Ada apa?