"Apa aku benar mimpi burukmu, Raina?" tanya Rad setelah sampai di halaman rumah. Raina ingin segera masuk ke dalam rumah. Enggan berdekatan dengan Rad. Namun, Rad menghalangi langkahnya. Ia menunggunya sesaat setelah meninggalkannya di danau.
Raina menundukkan wajahnya. Bibirnya pucat, begitu pun dengan wajahnya. Ia menggigil, meski sudah memakai jaket Rad. Sementara, Rad sama sekali tidak menggigil. Wajahnya memang terlihat pucat. Namun, ia tampak tenang.
"Jika benar, teruslah anggap aku sebagai mimpi burukmu. Dengan begitu, aku akan diingat. Nggak seperti sebelumnya, dilupakan."
Ada kesedihan di mata Rad. Mungkin, benar jika lisan bisa berbohong, namun tidak dengan mata. Mata Rad menyiratkan kekecewaan yang Raina tidak tahu karena apa. Hanya itulah terakhir kali Rad berbicara panjang dengannya.
*
Sudah tiga hari sejak kedatangan Rad, Raina lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya. Jujur, ia belum siap menerima kenyataan. Orang yang ia benci, orang yang ia takuti kini berada satu atap dengannya. Lebih dari itu, ikatan saudara tiri benar-benar mengguncang benak Raina. Sudah tiga hari pula, Raina lebih menyukai beraktifitas di dalam kamarnya. Keluar hanya sekadar mengambil makanan dan mengisi air minum ke dalam tumbler. Ia juga lebih banyak menghabiskan waktu liburan dengan membaca novel atau menonton film.
Entahlah, Raina tidak tahu akan sampai kapan ia akan seperti ini. Ia ingin menghindar dari Rad. Ia juga ingin pergi keluar rumah entah karena tujuan apa pun yang penting tidak berdekatan dengan Rad. Namun, ia tidak memiliki tujuan atau rumah teman yang bisa ditempati untuk menginap.
Ruangan yang selalu terkunci di sebelah kamar Raina sudah terisi. Tidak lagi kosong, namun justru menambah kesan yang lebih horor. Ruangan itu kamar Rad. Sesuatu yang sudah disiapkan Ghista. Hal itu juga membuat Raina tidak leluasa menuruni tangga, jalan satu-satunya menuju lantai dasar harus melewati kamar Rad. Ia takut jika tiba-tiba Rad membuka pintu ketika Raina ingin melalui tangga. Rad juga tidak lagi menelepon Raina, bicara pun tidak. Raina tahu seharusnya ia bersyukur, namun ia juga takut jika Rad memiliki rencana lain di balik diamnya. Terkadang, Raina dapat melihat Rad yang berdiri di balkon. Tidak ada yang dilakukannya selain memandang cahaya rembulan dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti menerawang sesuatu, entah apa yang dipikirkannya.
Malam sudah larut, Raina berusaha mencari-cari sekotak teh chamomile yang biasa diletakkan di dalam lemari dapur. Namun, nihil yang ia dapat. Begitu derap langkah terdengar menuruni tangga, Raina segera menyingkir dari dapur dan menuju ruang tengah. Ada Ghista dan Agas yang sedang membicarakan prestasi Rad. Berbagai piagam penghargaan Rad belum berhenti dibicarakan sampai sekarang, Rad sendiri tidak terlalu menganggapinya. Rad mengatakan pada Raina jika ia menganggap hal itu sebagai tiket masuk. Entah apa artinya itu.
Raina melangkah pelan ke arah Ghista dan Agas. Sebisa mungkin, ia menghindari tatapan Rad yang dapat Raina rasakan seperti menusuknya dari belakang.
"Ma, Pa. Raina izin ke minimarket sebentar, ya?" tanya Raina hati-hati.
Agas mau pun Ghista tidak menjawab. Mungkin mereka terlalu sibuk membicarakan Rad atau tidak mendengar suara Raina yang kelewat pelan. Tidak ingin menunggu lagi, Raina berbalik. Namun, tidak disangka, ekor mata Rad melihat Raina. Raina menunduk dalam, lalu berderap ke arah pintu. Ia butuh teh chamomile atau teh herbal lainnya untuk menemaninya fokus belajar. Empat hari lagi liburan akan segera usai.
Setelah membeli beberapa teh herbal dan camilan, Raina keluar dari mini market. Namun, Raina tidak tahu kemana tujuannya. Ia tidak ingin kembali ke rumah sekarang. Jadi, Raina memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar ke arah berlawanan dengan rumahnya. Angin malam mungkin akan memperbaiki suasana hatinya. Namun, karena tidak berhati-hati saat menyebrang jalan, sebuah sepeda motor nyaris menabrak Raina dengan kecepatan tinggi. Jika saja pengemudinya tidak cepat mengerem, Raina mungkin akan terpental jauh.
Napas Raina memburu, ia terkejut dan hampir limbung. Padahal, seujung kuku pun tidak mengenainya. Raina memutuskan untuk menepi setelah meminta maaf.
Bukannya melewati Raina, Si Pengendara malah mematikan mesin motor. Ia melepas helmnya. Menampilkan wajah familiar si pengendara. Mata sipit, wajah tegas, rambut acak-acakan dan jangan lupakan senyumannya yang secerah mentari disertai terbitnya lesung pipit di pipinya. Ia tersenyum ke arah Raina yang masih membulatkan matanya.
"Re-rezan?" sapa Raina yang lebih mirip reaksi terkejut.
Rezan kembali tersenyum, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapih. Berbeda dengan sebelumnya, rambut hitamnya berganti warna sedikit abu-abu yang hampir menutupi mata. Padahal, setahu Raina jarang ada sekolah mengizinkan muridnya mengecat rambut.
Rezan menampilkan senyumannya lagi. "Hai!" balasnya sedikit kikuk sambil mengangkat salah satu tangannya.
"A-aku pikir, saat festival kembang api kamu..."
"Ah, aku lupa memberitahumu jika mendadak ada sesuatu yang harus kuurus. Ponselku juga diambil seseorang, jadi aku nggak bisa menghubungimu." Rezan menyunggingkan senyuman kaku, ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Maaf, ya."
Raina membuang napas lega. "Syukurlah. Aku pikir Rad..." Raina tidak melanjutkan kalimatnya. "Sudahlah. Lupakan tentang itu. Hmm... Rezan, aku mencarimu ke kelas dua belas, tapi ada yang aneh. Nggak ada yang kenal kamu."
"Ceritanya panjang. Kamu sendiri? Mau kemana? Bukankah arah rumahmu ke arah sana?" tunjuk Rezan ke belakang Raina.
Raina menunduk, ia memainkan ujung kukunya. "Aku hanya ingin berjalan kaki sebentar."
"Ke rumah teman?"
Raina mendongkak, lalu berpaling memandang jalan. "Aku nggak punya."
Rezan kembali tersenyum. "Lalu, kamu anggap aku ini apa?"
Entah kenapa, senyuman Rezan terasa menular. Raina melengkungkan bibirnya, membentuk segaris senyuman tipis.
"Nah, begitu lebih baik. Jangan terus-terusan murung. Nggak baik untuk kesehatanmu, tapi jangan memaksakan diri untuk tersenyum juga, karena itu hanya akan jadi kepura-puraan sementara. Mau ikut denganku?"
"Kemana?"
"Kafe."
*
Rezan melenggang ke arah dapur. Sementara, Raina mengekorinya. Raina melihat sekeliling, interior kafe cukup unik. Namun, pengunjung kafe tidak terlalu banyak karena sudah larut. Selain itu, ada yang lebih menarik sekaligus membuat Raina heran. Karyawan yang berlalu-lalang mengantar pesanan selalu menyapa Rezan seraya mengangguk.
"Kafe ini milikku," ucap Rezan seolah menjawab pertanyaan di kepala Raina. Raina cukup terkejut, jarang ada anak SMA yang sudah bisa mengelola bisnis yang menurut Raina sekeran kafe Rezan.
Rezan mengambil salah satu celemek dan memakainya tanpa ragu.