Di bawah Pohon Pinus

Ati Raah
Chapter #14

Kasus Pertama

"Artikel tentang kamu sudah mulai dirilis, beberapa mungkin akan segera sampai di sekolah dalam hitungan menit," ucap Agas tanpa melihat wajah putranya. Ia memandang tata letak bangunan sekolah yang lebih kecil di bawahnya. Ia sengaja menyempatkan datang ke sekolah hanya untuk menemui puteranya.

"Orang-orang akan lebih tertarik pada artikel ekonomi mau pun politik. Nggak perlu khawatir."

Agas menaikkan kacamatanya yang sempat turun. "Nggak perlu khawatir kamu bilang? Dengar Rad, semua orang akan tahu jika kamu anak Papa. Jadi, selama kamu menjadi anak Papa, Papa harap kamu bisa jaga nama baik keluarga kita."

"Selama aku jadi anak Papa?" ulang Rad. Rad tersenyum kecut. "Jadi, dulu bukan?"

"Rad, jangan coba buat bantah ucapan Papa," peringat Agas.

Rad menerawang jauh. Pandangannya lurus. Atap sekolah adalah tempat favorit Rad. Tidak ada yang dapat menemukannya di sini, gedung kosong yang belum selesai diperbaiki. Jarang sekali siswa atau guru yang memasuki gedung kosong tempat Rad berpijak, kecuali pekerja bangunan yang mulai melakukan pengukuran untuk melanjutkan pembangunan.

"Harusnya artikel itu nggak pernah diterbitkan," ucap Rad.

"Nggak bisa. Delapan tahun lalu, artikel tentang kamu yang hilang terbit. Jadi, sebagai jawaban, kembalinya kamu juga harus diterbitkan."

"Tapi, Papa nggak pernah nyari aku, 'kan?" Rad berbalik mrmandang Agas dari sisi samping.

"Kami menunggu kamu di rumah, Rad. Kami menanti kedatangan kamu," tekan Agas.

"Pa," panggil Rad sebagai awal kalimatnya. "Mencari itu usaha, menunggu hanya berdiam diri. Dari awal Papa dan Mama hanya menunggu tanpa usaha untuk menemukanku, 'kan? Apa karena kalian sudah punya Raina? Apa karena aku nggak seistimewa dia?" Rad tersenyum kecut. "Apa karena dulu aku bodoh, Pa? Kata yang selalu Papa ulang-ulang ketika aku nggak mendapat nilai yang sempurna."

"Rad!" peringat Agas. Ia menaikkan intonasinya. Seiring dengan peringatannya, Rad menoleh ke sisi kanan. Perih yang Rad rasakan. Rad menggembungkan pipinya sebentar.

"Jaga bicara kamu. Itu perihal masa lalu!" tunjuk Agas pada Rad.

"Kenapa delapan tahun yang lalu Papa biarkan artikel tentang aku yang hilang terbit? Harusnya, Papa diam-diam buang aku saja, sehingga nggak perlu terbitin artikel baru tentang aku yang telah kembali."

Detik berikutnya tubuh Rad tersungkur. Sebuah bogeman yang sudah lama tidak Rad rasakan mendarat dengan mulus. Dalam posisi masih terduduk, Rad mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Sudah lama, ya Pa?" Rad menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.

Dahi Agas berkerut dalam. Alisnya saling bertaut.

"Aku baru ngerasain ini lagi. Apa ini sambutan selamat datang dari Papa? Rasanya...menyenangkan." Rad bangkit dari posisinya. Lalu, ia menepuk seragamnya untuk membersihkan debu yang menempel.

"Papa nggak perlu khawatir. Setelah lulus nanti, aku akan memikirkan dua pilihan. Melanjutkan ke MIT atau ikut Dad ke Jerman. Sayangnya, pilihan untuk menetap di sini nggak ada. Yang kuanggap sebagai rumah, nyatanya nggak seperti rumah."

Lihat selengkapnya