Rad berjalan pelan menyusuri jalanan. Setiap kali sepatunya menginjak tanah, nyaris tidak terdengar apa pun. Sejenak, ia menghentikan langkahnya hanya untuk memejamkan mata, menikmati saat angin berembus menerbangkan anak-anak rambutnya. Perlahan, ia membuka mata. Lalu, mendongkak ke arah langit. Berharap melihat taburan bintang, namun mereka enggan menampakkan diri. Sebagian masih terlihat, sebagian lagi sembunyi.
Rad kembali melanjutkan langkahnya. Ia berada di trotoar yang bersebelahan dengan lalu lintas padat. Meski malam, masih saja ramai akan bunyi klakson yang saling bersahutan. Sampai di pertigaan, Rad berbelok, ada sebuah minimarket di sana. Rad membeli beberapa kaleng minuman dingin untuk menghilangkan dahaganya. Setelah membayar, ia duduk di depan minimarket, menenggak minuman rasa kopi hingga habis. Kalengnya ia lempar tepat sasaran masuk ke dalam tong sampah.
Rad melanjutkan pelariannya. Bukan, mungkin lebih tepat disebut sebagai persembunyiannya. Ia tiba di kawasan perumahan sepi penduduk. Ditemani lampu jalan yang temaram tanpa hiruk pikuk klakson yang saling bersahutan. Tujuan Rad adalah tempat persembunyiannya selama ini, tak lain sebuah rumah sederhana berlantai dua. Rumah asri milik Dad-nya sebelum terbang ke Jerman.
Langkah Rad terhenti ketika ia berbelok seratus meter dari rumahnya. Suara yang sangat familiar terdengar jelas di telinga Rad. Mata Rad menyapu sekeliling, mencari pusat suara. Hingga ia temukan mata hijau yang gemerlap terpantul lampu jalan. Rad menundukkan kepalanya. Suara yang ia dengar berasal dari celah bongkahan batu-batu besar bekas pembangunan yang terbengkalai. Dari celah batu, mata mereka bertemu. Sementara, Si Mata Hijau terus mengeong.
Rad bersusah payah memindahkan beberapa bongkah batu. Kemudian, Rad mengangkat kucing yang terjebak itu. Lalu, ia letakkan kucing itu di sampingnya. Tubuhnya kurus, tidak terurus. Rad teringat jika ia masih memiliki beberapa snack kucing dalam tasnya. Snack yang biasa ia beri pada kucing jalanan. Rad berjongkok, lalu memberi makan kucing itu. Kucing itu makan dengan lahap.
"Kamu lapar?" tanya Rad yang tentu tidak mendapat jawaban. Si Kucing sibuk dengan makanannya.
"Kamu kesepian?"
Kucing berwarna abu-abu itu mengeong. Rad mengangkat alisnya tinggi, kucing itu seolah menjawab pertanyaan Rad.
Selang beberapa menit, makanan kucing itu habis. Rad hendak meninggalkannya sebelum Si kucing kembali bersuara. Karena masih tersisa satu bungkus, Rad membuka bungkusan snack kucing yang tersisa dan memberikannya. Namun, kucing itu malah pergi ke belakang pepohonan rimbun, ia membawa kawanannya. Seekor kucing lain dan anak-anak kucing yang mengengong. Mereka menghampiri makanan yang diberikan Rad. Rad tersenyum kecil, merutukki kebodohannya. Kucing kesepian, katanya.
Baru beberapa langlah, suara klakson dan sorot lampu motor membuat Rad menyipitkan mata.
"Butuh tumpangan?" tanyanya pada Rad.
*
"Ya ampun, Raina. Ini masih pagi. Ya, meski pun hari libur. Kamu datang ke sini dengan wajah ditekuk begitu. Ada apa?" tanya Rezan setelah melihat Raina yang baru saja datang ke kafenya.
Gemelatuk gigi Rezan tedengar jelas. Rezan sedang mengunyah es batu dari segelas teh yang sudah tandas. Rambutnya sekarang sudah lebih pendek, meskipun bagian depan rambutnya masih menutupi dahi. Cat rambutnya telah berganti menjadi jingga terang. Kacamata bertengger di matanya. Sementara di samping gelas Rezan, terbuka komputer jinjing yang menampilkan tugas yang sedang dikerjakannya.
"Rad hilang," ucap Raina yang membuat salah satu alis Rezan terangkat.
"Lalu? Kamu mencari dia di sini? Nggak ada Rad di sini, Raina." Rezan berdecak sebal. Gemelatuk giginya tidak terdengar lagi. Namun, kini beralih dengan bermain sedotan dalam gelas yang hanya berisi potongan es batu.
"Bukan itu," sahut Raina. "Melihat Kak Rezan begitu tenang, aku yakin Kak Rezan tahu di mana Rad. Tapi, aku ke sini bukan untuk mencarinya. Aku minta penjelasan," lanjut Raina.
Rezan memutar bola matanya malas. "Hei, Raina. Penjelasan apa? Kita bukan pasangan yang ketahuan selingkuh."
"Kak!" tanpa sadar Raina berdiri menggebrak meja membuat seluruh tatapan pengunjung tertuju padanya. Raina sangat malu. Ia memejamkan mata sebentar sebelum duduk kembali. Ia berusaha untuk tetap tenang.
Rezan seperti menahan tawa dan itu membuat Raina bertambah kesal.
"Aku minta Kak Rezan jelaskan bagaimana Kak Rezan bisa mengenal Rad. Kak Rezan sudah janji tempo hari untuk menceritakannya," tuntut Raina.
"Oh, itu." Rezan membenarkan anak rambut menggunakan jemarinya. "Sebelum kuceritakan, kamu lihat ada yang berbeda?"
Rezan bangkit dari duduknya. Ia berputar menunjukkan penampilannya. Sesekali, Rezan berpose bak model di depan Raina. Raina menepuk jidatnya pelan. Baru Raina sadari jika Rezan senarsis ini.