Di bawah Pohon Pinus

Ati Raah
Chapter #17

Bukankah Ini Seperti Dulu?

Seberapa jauh Rad berlari, ia akan tetap kembali. Seberapa lama Rad berkelana di dunia mimpi, ia akan tetap kembali pada kenyataan.

Rad kembali melewati jalan berbatu itu. Pandangannya menyapu sekeliling. Hamparan perkebunan teh yang luas. Sayup-sayup terdengar kicauan burung yang terbang melintasi awan.

Sesekali Rad akan berhenti, memejamkan mata, menghirup banyak udara pedesaan yang asri. Juga, merasakan ketika usapan angin sore yang tak kalah dari dinginnya angin malam menerbangkan anak-anak rambutnya.

Langkah Rad menuntunnya kemari, seolah jiwa masa kecilnya masih tertinggal di sini. Hamparan perkebunan teh dengan dua pohon pinus kesepian. Ia teringat sosoknya yang dulu, Rad kecil yang tidak tahu apa pun. Rad kecil yang membodohi dirinya sendiri jika ini hanya kesalahpahaman kecil. Menunggu seseorang yang tak kunjung datang, menunggu kepastian yang berujung keputusan sepihak.

Perjalanan Rad terhenti kala ia hampir sampai pada tempat favoritnya. Seolah ada layar besar di sana, seorang aktor cilik yang memainkan perannya. 

Bocah laki-laki kecil sedang kesusahan menggapai layang-layangnya yang tersangkut ranting pinus. Ia melompat dengan ranting kecil di tangannya, berharap layang-layangnya terjatuh. Bocah laki-laki itu bukan sosok Rad kecil. Bukan pula de javu. Juga, bukan sebuah ilusi seperti sebelumnya.

Rad tidak ingin kejadian itu terlulang. Karena itu, ia mendekat. Tanpa aba-aba ia mengambil ranting yang digenggam bocah itu. Lalu, mengetuk layang-layang itu hingga terjatuh. Dengan tinggi badan Rad, layang-layang itu jatuh dengan mudahnya. Rad segera memungutnya. Ia menyerahkan layang-layang itu tanpa sepatah kata pun. Bocah itu bergeming. Menatap Rad horor, wajahnya memucat.

Rad menggerakkan layang-layang dalam genggamannya, mengisyaratkan agar bocah itu segera mengambilnya. Namun, mata bocah itu malah berkaca. Rad mengambil langkah, bocah itu sontak mundur. Ia menangis dan terisak. Rad tidak tahu harus bersiap seperti apa. Menurutnya, ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak lama, seorang wanita datang dan bocah itu berhambur ke pelukannya.

"Penjahat Ibu, ada Penjahat!" Isakan bocah itu semakin keras.

"Makanya, Ibu bilang juga apa jangan main sendirian di bukit," tutur ibunya.

"Itu Bu, penjahatnya! Ayo pulang!" Bocah itu menunjuk Rad sambil merengek dalam pelukan ibunya.

"Iya, itu penjahatnya. Tuh, dia melihat kita. Jangan main sendiri lagi, ya."

Jawaban wanita itu membuat Rad melihat mereka dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin orang lain dijadikan 'penjahat' agar anaknya tidak main terlalu jauh. Apa tidak ada alasan lain? Rad meneliti pakaiannya. Tidak ada yang aneh. Kaus polos berlapis jaket abu-abu dan celana denim tanpa lubang. Juga, sepatu putih. Tidak ada topi atau masker yang biasa ia gunakan untuk mengintai atau sekadar menutupi wajahnya.

Setelah bocah itu dan ibunya pergi, Rad masih menggenggam layang-layang itu. Sudah robek di sisi kiri, namun masih bisa ditambal. Sayangnya, ia sudah tidak menyukai layang-layang lagi.

Selang beberapa detik, Rad mendengar suara langkah seseorang mendekat di belakangnya. Rad berbalik dan mendapati seseorang dengan sneakers merah berada tiga meter darinya. Orang itu terkejut, begitu pula dengan Rad. Namun, Rad sudah mengubah wajahnya seperti biasa. Ia memiringkan kepalanya agar bisa melihat orang itu dengan jelas.

"Bukankah ini seperti dulu, Raina?"

Raina menunduk tidak berani menatap mata Rad.

Rad mendekat selangkah. "Apa yang membawamu kemari? Aku bisa saja mendorongmu ke jurang. Seperti yang selalu kamu pikirkan."

Bukan Raina yang menginginkan sendiri untuk datang pada Rad. Rezan yang menawarkan untuk mengantarkannya pulang, malah membawanya kemari. Menurunkannya di tempat ini, lalu pergi. Harusnya Raina tidak mempercayai ucapan Rezan. Rezan memihak pada Rad, seperti apa yang dilakukannya kini. Dia temannya, sudah jelas alasan yang kuat.

"Papa mencarimu," ucap Raina yang masih tidak berani melihat mata Rad.

"Apa itu sebuah alasan?"

Raina tidak berbohong. Selama beberapa hari, Agas selalu pulang larut. Pakaiannya tidak rapih, lalu berbincang dengan Ghista di lantai dasar. Raina dapat mendengar bagaimana mereka mengkhawatirkan Rad.

"Atau kamu datang ke sini karena ingin mengingat tentang kita?"

"Tentang kita?" ulang Raina. Seingatnya ia tidak memiliki ingatan apa pun tentang Rad di tempat ini.

"Delapan tahun yang lalu," ucap Rad tanpa berkedip.

Lihat selengkapnya