"Kamu..di sini? " tanya Rad tidak percaya dengan kehadiran Raina.
"Aku menunggumu."
Rad menatap Raina tidak percaya. Ia mendengkus keras. Seorang Raina menunggunya adalah kemustahilan bagi Rad, kecuali jika Raina kembali menjadi Na kecil yang selalu mengganggunya.
Rad berbalik, tidak peduli dengan kehadiran Raina yang membuatnya sempat khawatir. Nyatanya, Raina berada di dekatnya dalam keadaan baik-baik saja.
"Rad, tunggu! Aku menunggumu," ulang Raina. Ia mencoba mengejar Rad yang langkahnya lebih panjang darinya. Rad pun berbalik, pandangan tidak bersahabat kembali ditunjukkannya.
"Terus kenapa? Kenapa kamu menungguku?" ketus Rad yang membuat nyali Raina kembali menciut.
Raina memainkan ujung kuku tangannya. Pandangannya menunduk.
"Uang sakuku habis dan ponselku mati. Aku nggak bisa naik bus atau memesan taksi daring. Aku nggak sengaja melihat motormu." Raina menunjuk lahan parkir yang tidak jauh darinya.
"Lalu?"
Mendengar itu, Raina mendongkak. "Lalu? Nggak bisakah kamu memberi tumpangan?" ucap Raina jengkel.
Pandangan Rad menyipit. Ada yang janggal. Raina tidak bersikap seperti biasanya. Raina yang selalu menjaga jarak dan bersikeras menjauhi Rad, kini meminta tumpangan padanya.
Rad mengangkat tangan kirinya, ia melihat jarum jam yang berdetak pada jam yang melingkar di tangannya. Lalu, kembali menatap Raina dengan penuh selidik.
"Dari mana saja?"
"Kafe Rezan," jawab Raina sedikit acuh.
"Lalu, kenapa nggak minta dia buat antar kamu?"
Raina diam sejenak, lalu menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya Rad lagi. "Bukankah kamu nggak percaya padaku? Setiap hari atau bahkan setiap detik kamu selalu mencurigaiku. Tapi, kenapa kamu nggak menaruh sedikit saja rasa curiga pada Rezan? Kamu hanya melihat cangkang dari pada isi."
"Rad.. Kenapa jadi begini? Aku cuma minta tumpangan," ucap Raina memelankan suaranya.
"Jauhi Rezan," peringat Rad.
"Apa?" ucap Raina tidak percaya.
"Jauhi Rezan. Apa perlu kuulang seribu kali?!" Rad menekankan kalimatnya.
Rad berbalik, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Tidak ia pedulikan Raina yang terus memanggilnya. Hingga terdengar suara pekikan yang membuat langkah Rad terhenti. Ia menggeleng, itu pasti hanya sandiwara Raina. Namun, Rad ragu akan dugaannya. Beberapa orang terlihat berlari ke arah belakang Rad. Sontak, Rad berbalik dan menyaksikan beberapa orang berkerumun. Rad dengan cepat menghampiri dan membelah kerumunan itu. Dilihatnya Raina yang tidak sadarkan diri. Siku dan lututnya lecet. Seseorang yang masih memakai helm mendekat.
"Maaf Dek, saya nggak sengaja. Tapi, saya akan tanggungjawab. Saya sudah menghubungi ambulans agar bisa membawanya ke rumah sakit terdekat."
*
"Dia hanya terkejut hingga jatuh pingsan. Lukanya tidak serius, hanya tergores aspal dan sedikit lebam karena sempat menahan tubuhnya sebagai tumpuan," ujar perempuan berhijab yang baru saja memeriksa Raina.
"Bagaimana dengan kaki dan kepalanya? Dia pernah mengalami cedera," ujar Rad memastikan.
"Tidak ada luka yang serius. Namun, untuk memastikan Adek bisa menunggu hasil lab," ucap perempuan itu seraya pergi setelah mengucapkan beberapa kalimat penenang.
Si Pengendara sepeda motor mengaku hanya menyerempet Raina. Rad dan Si Pengendara pun bersepakat untuk memilih jalan damai.