Cahaya matahari mulai memasuki kamar melalui jendela yang terbuka lebar. Rad menyipit, menetralkan pandangannya. Ia mengerjabkan matanya beberapa kali setelah terbangun dari mimpi. Ada yang aneh. Rad meraba dahinya. Sebuah handuk basah bertengger, bekas kompresan. Ia melepas handuk itu dari dahinya.
Rad bangkit dari posisinya, ia duduk sebentar. Saat Rad mengumpulkan kesadarannya, ia dapat melihat dengan jelas handuk kecil yang digunakan untuk mengompres dahinya. Motif bunga Azalea dengan daunnya yang lebat tersulam di bagian ujung handuk. Rad menggenggam handuk itu erat. Ia tahu siapa yang memberikan itu.
Ketika terdengar suara langkah mendekat, Rad kembali berbaring. Ia memejamkan matanya. Ia berpura-pura tidur sampai suara langkah itu berhenti. Artinya, seseorang sedang berdiri di hadapan Rad.
Orang itu mulai duduk di samping Rad. Menggenggam tangan kanan Rad. Lalu, membukanya perlahan. Dilihatnya garis luka Rad yang melintang, mengikuti garis tangannya. Ia menyentuh garis itu dengan jemarinya.
"Ini salah Mama, 'kan Rad?" ucap Ghista.
Ghista mengelus rambut anaknya. Ghista tahu, Rad hanya berpura-pura terlelap. Handuk kecil yang ia berikan tergeletak di atas nakas. Jika terjatuh, tidak mungkin sampai sejauh itu.
"Saat itu umurmu masih delapan tahun. Sementara, Mama tanpa sadar mengabaikan kehadiranmu. Mama sibuk dengan pikiran Mama sendiri karena ada sedikit masalah dengan Papa."
Ghista berhenti mengelus rambut Rad. Ia beralih memandangi garis luka yang ia buat pada telapak tangan puteranya. Jemarinya menyentuh garis luka itu dengan lembut.
"Mungkin, kamu pikir Mama marah karena terus mengabaikanmu. Kamu juga terus menerus meminta maaf karena nilai ulanganmu nggak sempurna. Kamu pikir Mama marah karena itu, padahal kenyataannya nggak. Tepat saat Papa datang, Mama melempar pisau dapur yang Mama gunakan untuk membuat makan malam kita. Mama nggak sadar kamu berada di dekat Mama. Benda itu menggores telapak tanganmu Rad. Mama minta maaf."
Rad mendengarkan. Sampai sebuah isakan terdengar jelas di telinganya, Rad tetap membisu. Hatinya ikut bersedih. Namun, ada cerita yang belum selesai.
"Mama minta maaf, Nak," ulang Ghista berkali-kali.
Isakan Ghista juga belum berhenti. Bahunya bergetar. Hati Rad ikut merasakan sakit, ia ingin merengkuh Ghista dan membiarkan Ghista menangis di bahunya. Seperti yang dilakukannya dulu ketika Agas membentaknya. Namun, Rad tidak bisa. Ada sesuatu yang mengurungkan niatnya karena ada cerita yang belum selesai ini.
"Kamu menangis waktu itu, tapi kamu nggak terisak. Itu yang membuat Mama merutukki kesalahan Mama. Namun, kamu ingat Rad? Mama sempat menjahit lukamu. Sedikit jahitan yang membekas sampai sekarang."