Kepada Kamu

Pringadi Abdi Surya
Chapter #1

Surat Pertama

Kepada Kamu.

Aku tahu napasmu masih terengah-engah bakda meloloskan diri dari satpam penjaga pintu gerbang. Dan sebentar lagi, kamu akan merasa panik, sebab buku PR Matematika yang telah kamu kerjakan semalaman ketinggalan di rumah. Tenang saja, hari ini Pak Oman tidak mengajar. Sebagai gantinya, ia hanya akan meminta murid-murid mengerjakan latihan soal-soal dan tidak dikumpulkan.

Bagaimana aku tahu semua hal itu?

Hai, Randi. Aku adalah kamu—kamu sepuluh tahun yang  akan datang.

 ***

Tepat setelah kulangkahkan kaki kiriku turun dari bis, kulihat satpam penjaga sekolah sudah memegang pintu gerbang dan mulai mendorongnya. Begitu kakiku menjejak tanah, aku langsung berlari secepat mungkin sambil kukutuk sopir bis yang berhenti tidak di depan gerbang sekolah. Ia berhenti di bawah jembatan penyeberangan, pas di tanda dilarang berhenti pula.

Aku mengerti ia malas menurunkan penumpang dua kali. Sengaja ia lewati Methodist, meski para penumpang yang ingin berhenti di sana banyak juga. Seratus meter dari Methodist ada sekolahku, SMAN 3 Palembang. Bis berhenti di tengah-tengah kedua sekolah ini.

Untunglah, dalam jarak pendek, aku adalah pelari yang baik. Dengan gesit, aku bisa menyusupkan diri dalam celah gerbang yang belum tertutup.

Selamat!

Sungguh, kecelakaan besar bila sampai terlambat. Mula-mula para siswa yang terlambat akan dibariskan di lapangan. Setelah itu, Kepala Sekolah akan datang. Ia begitu bengis. Bukan hanya dibentak-bentaki, adegan demi adegan penyiksaan akan kami lakoni. Push up, sit up, squat jump hingga merayap bak tentara di medan perang akan menjadi pemandangan menarik selama satu jam pelajaran.

Aku pernah terlambat satu kali dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.

***

Aku menyesal bangun lebih lambat hari ini. Aku keasikan membaca novel Area X karya Eliza Vitri Handayani hingga tengah malam. Setelah itu, aku baru tertidur. Pukul enam pagi aku terbangun dan buru-buru menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Tak sempat kusentuh nasi goreng yang sudah disiapkan Mama. Hanya segelas teh manis yang kuseruput sekadarnya.

Aku tinggal di pinggiran Palembang. Sekolahku berada tepat di jantung kota. Dari rumah ke sekolah, aku harus naik dua kendaraan umum. Angkutan Pedesaan yang berwarna hijau muda, lalu disambung dengan bis. Jika jalanan lancar tanpa kemacetan, lima belas kilometer jarak dari rumah ke sekolah akan dapat ditempuh kurang dari setengah jam. Aku merasa beruntung tidak terlambat hari ini meski sudah bangun kesiangan. Sedianya aku harus bangun sebelum pukul lima pagi lalu mandi dan salat. Tuhan,maafkan aku yang meninggalkan salat pagi ini.

***

Bel sudah berbunyi. Tanda kelas sudah harus dimulai.

Napasku masih terengah-engah karena lari tadi. Kulihat di luar ruang kelasku sudah sepi. Biasanya teman-temanku masih mengobrol di luar sampai guru datang. Artinya, guru sudah datang atau bisa jadi mereka sedang sibuk mengerjakan PR Matematika. Memang, tak ada waktu yang lebih asik untuk mengerjakan PR selain di sekolah, sebelum jam pelajaran dimulai. Apalagi kalau tinggal menyalin hasil pekerjaan teman. Aku juga pernah begitu. Namun, sekarang tidak lagi. Aku sudah menjadi murid yang baik.

Kelasku punya julukan yang unik. Anak gudang. Sebabnya sederhana, kelas kami memang bekas gudang.

Aku tidak tahu kenapa kami mendapat bekas gudang. Kuduga hal ini terjadi karena kesalahan sekolah dalam merencakan penerimaan siswa baru. Di angkatanku ada 12 kelas. Angkatan baru di bawahku juga ada 12 kelas. Ruangan yang tersedia terbatas.

Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas bukannya berebut tempat duduk di ruang kelas baru. Setelah melihat daftar pembagian kelas, bertemu dan berkenalan dengan teman-teman baru maupun yang sudah kukenal, aku tidak dapat menemukan kelas. Papan nama kelas terhenti sampai 2.10. Tidak ada 2.11 apalagi 2.11.

Aku bersama beberapa teman pun beranjak ke sekretariat. Kami rapikan baju serapi-rapinya dan yang rambutnya sedikit gondrong, mohon maaf, tak dapat kami ajak ketimbang tiba-tiba bertemu Kepala Sekolah yang super galak. Kalau ketahuan tidak rapi, bisa-bisa kami dihukum lari keliling lapangan. Mengerikan.

Benar saja, baru kami menjejakkan kaki, Kepala Sekolah itu keluar dari ruangannya dan menatap kami. Dia menenteng tangannya di pinggang dan membentak kami, “Kalian ngapain di sini?!”

Nama beliau Lukman. Tapi, jangan bayangkan sifat Lukman yang ada dalam surat di Alquran. Lukman yang ini adalah seorang pelatih Taekwondo yang tersasar jadi kepala sekolah. Sabuk hitam. Tidak satu pun siswa sekarang ini yang berani melawannya. Kalau pun nakal, nakalnya kudu diam-diam. Dulu, ketika Lukman baru menjadi Kepala Sekolah, pernah ada beberapa siswa nakal yang menantangnya. Bukan satu, melainkan tiga orang. Ketiga siswa itu diundang masuk ke ruangan Kepala Sekolah. Dan mereka berkelahi di sana. Hasilnya… ketiga siswa itu keluar dengan  muka babak belur. Rambut mereka pun ditokak.

Lihat selengkapnya