KEPADA SIAPA LAGI AKU HARUS PERCAYA?

Aleena Anonymous
Chapter #1

#01. Pria Brengsek

Jika mati adalah puncak kedamaian, mungkin itu akan dipilihnya. Terlepas dari rasa takut, tekanan, dan kepada orang-orang yang menganggapnya sebagai bahan pelampiasan nafsu bejat mereka saja.

Di sana tepat di bawah meja, seorang gadis berusia lima belas tahun memeluk tubuhnya sendiri saat suara gedoran di pintu kamarnya terdengar menggebu. Pintu kamar tidak memiliki kunci, hanya slot berkarat yang digunakan sebagai penahan agar pintu tak terbuka dari luar. Namun, untuk saat ini dia sengaja tak menggunakannya.

"Buka!" Teriakan semakin kencang.

Bulir-bulir keringat mulai mengalir. Degup jantung pun tak kalah bertalu, terutama ketika seseorang dari luar mendorong pintu secara kasar hingga terbuka. Lampu kamar dalam kondisi mati. Siluet pria terlihat dari balik kain yang menutupi meja persegi--di mana gadis remaja itu tengah bersembunyi.

"Ke mana lagi anak itu?"

Gumaman itu bisa jelas terdengar di telinga. Langkah kaki semakin mendekat dengan si pemiliknya memeriksa setiap bagian kamar, termasuk lemari pakaian. Tidak ada seorang pun di sana--mungkin bersembunyi di suatu tempat atau sengaja tidak pulang.

Sunyi senyap serta gelap, meyakinkan pria dewasa itu bahwa kamar tersebut memang kosong. Namun, suara decit gesekan antara meja dan ubin yang tiba-tiba terdengar menarik perhatiannya ketika lengan gadis itu tanpa sengaja menyenggol salah satu kaki meja. Sakit, tentu saja. Tapi tak ada waktu untuk merasakannya. Wajahnya pias menyadari langkah kaki menuju ke arahnya. Dia yakin akan tertangkap.

Benar saja. Pria berperawakan gempal tampak membungkuk, senyum samar terulas di bibir saat tangannya hendak menyibakkan kain yang menutupi kolong meja. Gadis itu memejamkan mata. Napasnya ditahan sebisa mungkin, takut-takut jika menimbulkan suara dan membuatnya dalam masalah. Sampai dering ponsel berbunyi cukup mengejutkannya.

"Sialan!" ucap pria itu, memilih mengangkat telepon dan beranjak berdiri.

Pintu ditutup kembali, kali ini seperti dibanting kasar. Melihat pria itu pergi, embusan napas lega baru terdengar. Malam ini ... dia selamat.

***

Sejak pagi dapur sibuk dengan aktifitas para wanita. Ada sebanyak tiga perempuan di keluarga itu. Salah satunya adalah Sinta, karyawan pabrik rokok yang mana perusahaannya menerapkan tiga sif untuk mengatur pergantian jam kerja. Semalam, dia masuk sif sore dan pulang sekitar pukul dua belas dini hari. Wanita berusia empat puluh tahun itu begitu cekatan saat memasak sarapan dengan dibantu Aruna, putri pertamanya.

Sementara agak jauh dari sana, ada meja makan sederhana yang sudah dihuni oleh gadis kecil berambut gelombang. Terdengar beberapa kali membunyikan piring dengan mengetuk-ngetuk sendok, menunjukkan bahwa dia sudah lapar, tak sabar menunggu masakan selesai dihidangkan. Gea namanya. Berkulit sawo matang. Hanya mata yang mirip dengan Sinta, selebihnya mirip ayahnya.

"Bawa ke meja sekalian!" titah Sinta. Tangannya masih sibuk mengangkat tempe dari penggorengan.

Semerbak harum dari masakan yang baru matang memenuhi dapur sampai ke meja makan. Memang antara dapur dan ruang makan tak bersekat. Biasanya Gea selalu menunggu ibu dan kakaknya menyiapkan sarapan sambil memainkan piring serta sendok dengan mata menatap televisi yang menyala pada ruangan tengah.

Lihat selengkapnya