Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #1

0. GADIS YANG RAMBUTNYA SELALU DIKEPANG DUA

GADIS YANG RAMBUTNYA SELALU DIKEPANG DUA

Dari kecil aku tidak pernah memiliki musuh. Mama, papa, dan kakak selalu menyayangiku. Anak-anak sepermainan selalu berebut ingin berkawan denganku. Aku senang namun tidak dengan perkelahian. Aku melerai mereka dan mengatakan bahwa tidak perlu berebut karena kami bisa main bersama. Mereka setuju. Kami bermain rumah-rumahan setelah itu. Sampai sore. Mama memanggilku di luar taman bermain. Ia menjemputku untuk pulang. Langit mendung, oleh mama aku digendong. Kami pulang dan selamat dari hujan. Kulihat ada dua koper di ruang tamu. Kata mama aku disuruh memeriksa kamar. Ia khawatir ada barangku yang masih tertinggal. Aku menurut. Mama benar, boneka kelinciku masih tengkurap di kolong tempat tidur. Aku harus merayap untuk menggapainya.

Kata mama kami akan pindah rumah. Padahal rumahku baik-baik saja. Tidak bocor dan catnya masih bagus. Tidak mengelupas ataupun pudar. Sebelum pergi, mama mengepang dua rambutku. Itu terakhir kalinya aku serumah dengan papa dan kakak. Kakak bilang ia akan sering mengunjungiku walaupun beda rumah. Aku mengangguk dan kami berpelukan. Papa juga memeluk dan menciumku. Sementara mama hanya memeluk dan mencium kakak. Papa tidak. Mereka seperti dua orang asing. Padahal kami sudah bertahun-tahun tinggal bersama.

Setelah lulus sekolah dasar mama menyekolahkanku di SMP Anthasena. Kata mama itu termasuk sekolah elit. Aku diminta serius jika sekolah di sana karena aku tidak boleh menyia-nyiakan uang papa. Aku patuh dan berjanji akan membuat mama, papa, dan kakakku bangga.

Anak-anak di Anthasena sangat cantik. Rambut dan kulit mereka terawat. Banyak dari mereka yang mengenakan jepit rambut ataupun bando yang bagus. Aku ingin mencobanya namun aku tidak berani merengek pada mama, karena aku kasihan padanya yang setiap pulang kerja selalu terlihat super kelelahan. Aku hanya mengepang dua rambutku setiap hari. Mama yang mengajariku melakukannya.

Anak-anak di Anthasena semuanya baik. Aku pun melakukan hal yang sama, namun mengapa dua anak kembar itu selalu memandangku berbeda? Matanya selalu melihatku dengan jahat dan memusuhi. Padahal dari dulu mataku tidak pernah menunjukkan sorot kesal maupun marah pada mereka.

Aku tidak tahu jika pandangan memusuhi itu menular. Lama-kelamaan satu-satunya sahabatku yang namanya Jia ikut-ikutan. Bahkan mereka sampai berani membuat dua rambut kepangku selalu berantakan, kulit kepalaku sakit, tubuhku biru-biru dan berdarah. Jika saja aku memiliki kekuatan malgis, aku ingin mengubah pandangan penuh permusuhan itu menjadi pandangan persahabatan. Aku pernah mengatakan itu pada Alin. Ia adalah sahabatku yang kedua. Ia bilang kata-kataku sangat manis. Ia menangis sembari mengucap maaf lalu memelukku. 

Aku sudah memikirkannya berhari-hari. Mencari jawaban atas segala pertanyaan mengenai hidup. Aku tidak bisa begitu saja memohon pada mama untuk pindah sekolah. Mama senang dengan Anthasena. Mama bangga aku menjadi salah satu murid Anthasena. Katanya masa depanku akan cerah. Mama bersyukur papa adalah lelaki yang bertanggung jawab. Walau mama dan papa telah bercerai, papa tetap peduli pada masa depanku. Terus terang, mama tidak sanggup membiayaiku jika di Anthasena. Hanya mampu di sekolah negeri.

Lihat selengkapnya