Setelan seragam abu-abu putih berhanger terbaring di kasur. Mulus tanpa lekukan karena sudah disetrika Berlian saat Alin mandi. Gadis berbalut mantel mandi itu masih termenung, memandangi setelan seragam. Seolah yang akan ia kenakan adalah zirah yang berbobot 35 pon, sedikit enggan dan penuh pertimbangan.
Lantas ingatan tiga tahun lalu menyuruk isi kepala Alin. Di toilet perempuan, di sekolah, Alin mengintip Lani meringkuk di kaki Nay, Bebi, dan Jia. Bebi dan Nay memaksa Lani yang sudah lemas untuk berdiri. Gadis kembar itu mendorong Lani ke salah satu bilik kemudian Jia menguncinya.
Kembalilah pikiran Alin selepas kedatangan memori tiga tahun silam. Ia segera menjajal seragam barunya. Setelan itu begitu pas di badan. Tidak kedodoran ataupun kekecilan. Atasan lengan pendek yang dimasukkan dalam rok wiru panjang membuatnya makin terlihat dewasa. Ada atribut berupa nama sekolah di lengan kanan. Tidak Alin sangka akan mengenakan seragam lagi. Usai menamatkan homeschooling setingkat menengah pertama dan lulus ujian kesetaraan.
Di depan cermin, Alin mematut diri. Menepuk-nepuk alas bertabur bedak di mukanya yang putih meta. Kedua belah bibir ia olesi pelembab karena beberapa hari ini terasa kering. Rambut ia dibiarkan tergerai berhias bando putih. Alin berlatih tersenyum, menyebutkan nama diri, dan berganti menanyakan nama. Seakan-akan di dalam cermin adalah seseorang yang lain.
“Hai, aku Alin. Nama kamu siapa? boleh duduk di sebelahmu? mau nggak jadi temanku? kamu dari SMP mana? kenapa juga aku nanya-nanya SMP? aneh nggak sih nanya-nanya asal SMP di pertemuan pertama?”
Alin menyerah. Tiba-tiba ia merasa berlagak ramah dan bodoh. Akan berada di lingkungan baru membuat Alin lupa sikap. Tanpa komando kegugupan datang mengitarinya.
Di cermin, Alin menangkap bayangan Pandu terkikik geli memegangi gagang pintu di belakangnya. Sebelum menoleh, Alin memperbaiki raut muka. Karena Pandu berarti adik yang luar biasa jail dan menyebalkan. Alin tidak ingin mendengar ejekan Pandu sebab ketahuan berlatih kenalan.
“Apa?”
Tanya Alin dingin. Pandu menghentikan tawanya.
“Kak Kungkang, semuanya sudah kumpul di meja makan. Cepetan dandannya.”
Selain melambatkan tempo bicara layak kungkang merangkak, Pandu juga meniru ekspresi hewan itu. Kecepatan maksimum kungkang adalah 0,12 km per jam. Sindiran untuk Alin karena persiapannya yang lelet. Alin meredam keinginan mencakar muka mengesalkan Pandu lantaran masih terlalu pagi untuk bertengkar. Ia kemudian menggendong tas dan berjalan mengikuti Pandu. Hampir lupa, dari pintu, Alin buru-buru kembali ke meja rias untuk mengambil ponsel.
Menu sarapan hari ini cukup familiar, nasi goreng dengan telur ceplok. Berlian yang memasak. Tidak ada alasan khusus, hanya karena ingin.
“Bu, pulang sekolah boleh ikut ke resto lagi nggak?”
Ia bertanya usai menelan suapan nasi yang ketiga. Memang hampir dua minggu Alin tidak pernah ke resto untuk bantu-bantu lagi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan perpustakaan kota.
“Iya boleh dong. Oh iya gimana tempat bimbelnya Nak?”
Seminggu lalu Berlian dan Alin membicarakan tentang tempat bimbel. Berlian menawarkan beberapa tempat bimbel yang menurutnya bagus. Alin belum memutuskan ketika itu. Ia masih menimbang-nimbang.
“Alin pilih yang dekat resto aja Bu.”
Alin mengakui rekomendasi tempat bimbel dari ibunya memang bagus-bagus. Yang berbeda tentu saja lokasinya. Dekat resto adalah pilihannya karena sewaktu ke tempat bimbel tinggal berjalan kaki tanpa perlu menunggu dijemput atau memesan transportasi online.
“Boleh.”
Berlian selesai dengan makanannya. Lalu membasahi mulut dan tenggorokannya dengan segelas air putih di sisi piring. Pandu membikin Berlian tidak fokus pada minumannya. Nasi goreng dan telur tidak seluruhnya masuk ke perut Pandu. Ia menyisakannya.
“Kok nggak habis? nggak enak ya Dek masakan Ibu?”