Papan nama kelas berbahan akrilik, berukuran 25 cm x 7 cm menggantung di atas kepala pintu. Ruang B.1 tertulis di sana. Udara seolah menipis hingga membuat Alin menghirup lebih banyak sebelum memasuki kelas. Penataan meja kelas dibuat klasik. Meja anak-anak berbaris membentuk persegi yang monoton. Sementara meja guru berada di pojok depan. Bersisian dengan papan tulis. Alin memilih baris pertama, kursi nomor dua. Paling jauh dari pintu akan tetapi berdekatan dengan jendela yang berbatasan langung dengan taman sekolah. Sistem pembelajaran di 141 adalah para siswa dibebaskan memilih mata pelajaran apapun sesuai minat dan kebutuhan, kecuali matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan sejarah. Keempat mata pelajaran itu wajib diambil. Matematika bertujuan untuk melatih siswa untuk memecahkan persoalan rumit, bahasa Indonesia bertujuan agar siswa dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bahasa Inggris adalah bahasa internasional sehingga harus dipelajari, dan sejarah bertujuan agar siswa mengenal bangsanya sendiri.
“Boleh duduk di sini nggak?”
Alin yang semula menulisi buku catatannya menoleh pada seorang perempuan bernama dada Reynata P. Gadis berambut panjang, terurai, dan berwarna cokelat gelap. Berkulit putih, berpipi tirus, dan berkelopak mata ganda. Hidung ramping dan tinggi sebagaimana tubuhnya yang terukur 167 cm melalui stadiometer. Reynata memiliki kecantikan khas perempuan Asia Timur.
“Oh boleh.”
Alin tidak bisa menyembunyikan perasaan gugupnya. Ia ingin memperkenalkan diri lebih dulu namun keberaniannya masih seukuran kacang tanah. Jadi hanya jawaban seperlunya yang berhasil lolos dari mulutnya. Tiada kalimat lanjutan. Rey menggeser kursi kosong di sebelah Alin ke belakang lalu mendudukinya. Melepas tas berkulit jeans dari punggung lanjut menyorongnya ke laci meja.
“Aku Rey. Namamu?”
Kesempatan bagus bagi Alin. Ia langsung membalas uluran tangan Rey. Seantusias itu Alin ingin berteman. Di saat bersamaan Alin ingin bercermin. Ingin tahu bagaimana ekspresinya. Jelek atau tidak. Memalukan atau tidak. Pantas ditertawakan atau tidak. Tawa mengejek Pandu pagi tadi adalah penyebab Alin berpikir demikian.
“Alin.”
Sungguh Alin tidak bermaksud hemat bicara. Alin pikir bersikap sok akrab tidak cocok untuknya. Ia beralih melupakan kalimat-kalimat yang sudah terencana untuk ditanyakan pada kawan barunya.
“Oke Alin! nice to meet you.”
Rey mengakhiri perkenalannya. Sedikit melirik Alin, Rey penasaran dengan tulisan yang mengisi garis-garis kertas milik kawan barunya. Rey setengah mendekat. Segera tulisan-tulisan itu tak terlihat. Rupanya si pemilik buku tidak memberi izin seseorang mengintip huruf-huruf yang telah terkumpul di buku catatannya.
“Nggak boleh ngintip ya?”
Tanya Rey polos.
“Privasi Rey.”
Balas Alin. Rey kembali menarik kepala yang semula terjulur melewati area bangkunya. Rey tentu paham apa itu privasi. Artinya tidak boleh sama. Tidak boleh sama dengan pemilik buku. Pemilik buku sangat tahu tentang dirinya melalui catatan bersampul hitam bergambar setangkai mawar merah itu. Rey tidak boleh melewati batas sangat tahu tentang Alin. Catatan Alin bagaikan mesin waktu. Memperlihatkan isinya sama saja membiarkan orang lain menelanjangi masa lalu Alin. Yang menyedihkan. Yang mengerikan.Yang barangkali tak seorang pun mau berdekatan dengan Alin bila mengetahuinya termasuk Rey.
Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan berjalan memasuki pintu kelas. Bunyi pantofel yang berakar dari kakinya membuat sebagian anak-anak kembali ke tempat duduk. Mereka yang sudah duduk, langsung memperhatikan wanita berseragam cokelat itu. Ia berhenti di belakang meja guru, menghadap siswa-siswa di kelas termasuk Alin. Berdiri tegak dan nampak begitu anggun dengan kaki hampir menyilang. Layak pemberita CNN di televisi. Bibirnya penuh dan ber-liptint cokelat. Garis hitam tipis mewarnai tepi kelopak matanya. Rambutnya yang sedikit bergelombang dibiarkan jatuh sampai bahu.
“Pagi anak-anak. Perkenalkan, saya Lola Anita. Kalian boleh memanggil saya Bu Ani. Saya adalah pengajar matematika di kelas sepuluh.”
Ini kedua kali Lola Anita memperkenalkan diri di hadapan siswa-siswi baru. Karena yang pertama dilakukan sewaktu masa pengenalan lingkungan sekolah kemarin lusa. Mengikuti kelas Ani berarti bersedia mengikuti aturan yang ia berlakukan. Tepat waktu dalam pengumpulan tugas dan melarang keras perbuatan mencontek. Konsekuensi bila melanggar adalah pengurangan poin yang tentunya akan mempengaruhi kelancaran naik kelas.
“Selanjutnya saya akan memanggil nama kalian satu per satu untuk presensi kelas sekaligus ingin mengenal kalian lebih dekat. Jadi kalian maju kemudian memperkenalkan diri. Setuju?”