Lian melompat girang tatkala memenangkan taruhan. Gol yang dicetak Lian lebih banyak dari seniornya, Tito. Selisih dua angka, yakni 10-8. Mau tak mau pemilihan ketua ekskul futsal dilakukan secara musyawarah. Lian otomatis terlepas dari sasaran menjadi ketua hasil penunjukan langsung. Kekalahan Tito berarti menambah pening memikirkan anggota yang pantas menggantikannya. Mereka duduk bersebelahan. Mereka merehatkan badan dari pertandingan yang sama sekali tak terencana. Lian dengan rakus menonong sebotol minuman. Ia sedikit tertawa melihat Tito bermuka kalut.
“Ada rekomendasi nggak?”
Mulut Lian kian melebar, meloloskan tawa yang sengaja dibuat-buat. Ia bermaksud mengejek Tito. Tito geregetan lantas mengambil botol kosong dari tangan Lian dan memukul kepala Lian.
“Aw!” Lian mengaduh. “Boy Kak si Boy.”
Lanjutnya.
“Boy?”
“Meski pendiam. Jiwa kepemimpinannya oke kok Kak.”
Tito setengah mengangguk. Ia masih ragu akan pengakuan Lian.
***
Musyawarah pemilihan ketua dimulai. Tito yang memimpin. Dihadiri anggota seangkatan dan adik-adik tingkatnya. Musyawarah itu dilakukan sepulang sekolah. Pagi sebelumnya sudah diinfokan melalui grup What’sApp. Para anggota pun menurut dan langsung meluncur ke ruang ekskul selepas bel pulang menjerit. Tanpa basa-basi Tito menjelaskan bahwa ia belum memiliki kandidat yang bersedia menggantikannya. Dengan demikian ia butuh bantuan anggota seruangan untuk menyetorkan rekomendasi atau mengajukan diri sebagai ketua ekskul futsal.
“Boy Kak. Aku merekomendasikan Boy sebagai ketua.”
Lian mengangkat sebelah tangan, merekomendasikan seseorang yang menurutnya pantas. Boy menyikut lengan Lian keras. Lumayan terkejut namanya spontan disebut. Mulut Boy berkomat-kamit mengatakan apa-apaan? Sudah Lian duga Boy pasti bersikap begitu. Akan tetapi Lian telah mengantisipasi dengan cukup mengabaikannya.
“Aku juga milih Boy Kak!”
Suara kedua berasal dari Tari. Tari adalah anggota ekskul putri yang berbakat. Berbekal pengalaman sering ikut turnamen di SMP-nya dulu. Ia memang terlampau menyukai salah satu olahraga yang cukup banyak digemari orang-orang itu. Waktu senggang sering ia manfaatkan untuk latihan. Seolah di dunia Tari hanya ada futsal, futsal, dan futsal. Dua suara dari adik-adik tingkat rampung dicatat sekretaris.
“Ada lagi?”
Sejenak ruangan hening sampai salah satu anggota mengacungkan sebelah tangannya. Namanya Yohanes. Ia dengan percaya diri mengajukan diri menjadi ketua. Selepas itu ia ijin ke kamar mandi.
Tidak ada rekomendasi tambahan sehingga hanya tertulis dua kandidat, Boy dan Yohanes. Voting dilakukan secara langsung. Anggota yang hadir hanya tinggal mengangkat tangan jika menginginkan kandidat yang disebut Tito menjabat ketua.
“Yang milih Boy? Tu wa ga... oke 15 orang.”
“Yang milih Yohanes? Tu wa ga... 15 orang juga. Loh sama?”
“Tapi presensi di sini terisi 31 anggota. Berarti ada satu orang yang belum milih dong?”
Timpal sekretaris heran. Orang-orang dalam ruangan saling bertanya pada kawan di kanan kirinya, seperti kamu udah angkat tangan kan? Atau kamu udah milih kan tadi?Bagaikan mendapat intuisi, sekretaris beranjak ke kamar ekskul. Sesungguhnya itu bukan kamar, akan tetapi ruang menaruh perlengkapan futsal. Oleh Berry dijadikan kamar karena masih muat ditempati kasur lantai. Berakhirlah tempat itu menjelma kamar untuk siapapun yang butuh tidur. Begitu lampu kamar benderang dan selimut ditarik, membujur seseorang sedang terlelap layaknya bayi. Sesuai dugaan sekretaris, Berry tengah mengawang di langit-langit mimpi. Merasa terusik binar lampu, matanya menggeridip.
“Berry! Ya ampun!”
“Eh Kak sekretaris. Rapatnya udah mulai belum Kak?”
Ujarnya lemas. Ia berusaha duduk sembari mengucek-ucek mata.