Beda cerita saat di OSIS. Dulu, Lian sesungguhnya terpilih menjadi ketua. Bukannya Dewa Anggara, saingannya. Saat pemungutan suara, Lian lebih unggul dari Dewa. Selisih dua belas suara. Otomatis Lian terpilih. Namun bukannya senang justru Lian kecewa. Ia ingin mundur dan mengatakannya pada Dewa besok malam di lapangan basket sekolah. Berniat menyerahkan tanggung jawab sebagai ketua pada Dewa.
“Maksud kamu apa Ian? Kamu yang kepilih. Kenapa aku yang harus ambil alih?”
Dewa mulai gusar. Lian terlihat seperti pengecut sekarang. Dewa tidak suka dengan orang yang lepas dari tanggung jawab begitu saja. Padahal hanya tinggal melaksanakan. Lagi pula Lian tidak sendiri melaksanakan tugas di OSIS. Ada wakil, sekretaris, bendahara, dan seksi bidang yang siap membantunya.
“Nggak bisa Wa. Aku udah bilang alasannya.”
Lian tidak ingin membeberkan alasan lebih. Dalam kepalanya terbayang wajah ayahnya. Alasan Lian menolak adalah berhubungan dengan ayahnya.
“Kamu tahu kalau itu nggak logis Ian. Kamu bilang nggak pantes? Aneh kamu Ian!”
“Kalau gitu tukar jabatan. Aku mau jadi apapun asal jangan ketua.”
Final Lian tidak menyerah.
“Kamu bilang langsung ke Pak Andra! Jangan aku!”
Ujar Dewa sedikit meninggi. Kalah dari pemilihan ketua OSIS baginya sudah mengecewakan ditambah lagi dengan rengekan Lian yang meminta untuk menggantikannya. Lian sungguh menguji kesabaran Dewa.
“Kamu juga tahu sendiri gimana hasilnya kalau aku langsung ngomong ke Pak Andra. Beliau nggak akan terima. Makanya aku butuh bantuan kamu juga buat bilang ini ke Pak Andra.”
Pak Andra adalah pembina OSIS. Pengakuan Lian adalah fakta. Pak Andra kemungkinan besar akan menolak alasan Lian. Ia seolah-olah dapat mendengar kata-kata Pak Andra “Coba dulu. Jangan menggunakan alasan lemah seperti itu. Bapak tahu kamu mampu”. Tegas dan mengintimidasi. Begitulah Pak Andra yang anak-anak OSIS kenal.
“Kamu pikir aku mau?”
Dewa mulai menurunkan nada bicaranya selepas mendengar kata “butuh bantuan”.
“Aku tahu kamu mau. Kamu lebih peduli OSIS ketimbang aku. Aku juga tahu kalau kamu kecewa sama hasilnya. Kamu cuman tinggal bilang setuju dan kamu bisa dapat apa yang kamu mau.”
Lian akhirnya mengeluarkan kata-kata yang semula terpendam dalam hati. Karena Dewa tak kunjung paham dan menyetujui keputusannya.
“Sialan!”
Dewa melayangkan tinju ke pipi kiri Lian. Ia merasa direndahkan.
“Memangnya kamu siapa? Aku nggak butuh belas kasih darimu buat dapat apa yang aku mau! Jangan merasa superior!”
Lian hampir tersungkur sebab pukulan Dewa. Mengalir darah dari sudut bibirnya. Tidak puas, Dewa menarik kerah kaos milik Lian, bersiap melayangkan pukulan kedua. Namun kepalannya hanya berhenti di depan wajah Lian. Ia berteriak frustasi. Dewa kemudian mendorongnya ke tanah begitu saja. Lian tidak berniat membalas. Karena sadar bahwa ia patut dipukul. Dewa memejamkan mata, menarik—keluar napas dengan kasar. Berusaha meredam emosi yang sesungguhnya masih butuh pelampiasan.
Mereka berdua berakhir terdiam. Terbenam dalam pikiran masing-masing. Lian tidak mungkin jujur akan alasan sebenarnya. Terlalu rumit dan panjang jika diceritakan. Lebih tepatnya belum siap. Sementara Dewa, dalam keterdiamannya, menunggu Lian berterus terang. Ia tidak akan percaya alasan konyol yang Lian katakan. Sampai akhirnya Lian bangkit perlahan. Nyeri di pipi sama sekali tak ia hiraukan. Langkahnya bergitu ringan, berlalu menjauhi Dewa tanpa sepatah kata pun. Dewa tidak mencegahnya. Emosinya belum sepenuhnya stabil. Ia tidak ingin kepalannya melukai tubuh Lian lagi.
***