Telah bergulung-gulung jauh waktu pelajaran terakhir di kelas Alin. Mungkin sisa setengah jam lagi bel pulang akan berdering riang, membangunkan anak-anak di jajaran kursi paling belakang. Bak lullaby suara guru sejarah memang. Alin tidak akan menampik argumen itu, karena sedari tadi kedua matanya berusaha menghalau serangan kantuk yang tiada matinya. Jangan sampai ia menyerah atau nasibnya akan setara dengan kepala-kepala yang terlelap itu. Hanya memperoleh mekar bunga tidur sepulang sekolah. Alin tidak menginginkan itu.
“Lin! Lin! Lin Alin…”
Bisik Rey sekuat tenaga. Hangat udara yang berasal dari mulut Rey betul-betul mengganggu kulit wajah Alin. Ia meletakkan pulpen dan terpaksa meladeni Rey.
“Apa?”
Bisik Alin dan diam-diam menoleh pada guru sejarah. Gawat jika ketahuan ngobrol di tengah-tengah guru menerangkan periodisasi dan kronologi sejarah Indonesia. Alin tidak ingin menjadi pusat perhatian karena mencari masalah di kelas karena akan sangat memalukan. Rey menyodorkan pesan tertulis di atas buku catatannya. Isinya:
pulang sekolah ke kafe yuk! |
Tidak perlu menimbang-nimbang balasan lagi, Alin langsung menolak ajakan itu melalui pesan tertulis juga di buku catatan sama.
Sorry, nggak bisa hari ini. |
Kenapa nggak bisa? |
Mau daftar bimbel. |
Pesan tertulis antara Alin dan Rey berhenti sampai di situ. Kafe yang dimaksud Rey berada di jalan yang sama dengan sekolah. Sewaktu melewati tempat itu, ia sudah membayangkan akan sering nongkrong bersama kawannya. Entah mengerjakan PR, membicarakan kakak tingkat yang populer dan tampan, merencanakan masa depan, atau mencurahkan sesuatu yang mengendap lama dalam hati. Rey menggeser buku catatan menjauh dari Alin. Mereka berdua lanjut mencatat penjelasan guru.
Alin memusatkan pikirannya pada pelajaran sejarah sementara Rey tidak. Dalam kepala ia membayangkan tempat-tempat mana yang cocok untuk didatangi sepulang sekolah. Sebab Rey tak ingin cepat-cepat kembali ke rumah yang sepi itu. Orang tua dan kakaknya belum sampai rumah. Mereka masih berada di rumah lama guna mengurus kepindahan sekolah kakaknya, Adit. Berat sekali bagi Adit untuk pindah sekolah hingga membuatnya terus mengulur waktu supaya orang tuanya berubah pikiran dengan membiarkan Adit tetap tinggal di Malang. Karena pindah berarti harus memutus hubungan percintaannya dengan Lastri. Lastri sanggup LDR (Long Distance Relationship) sedangkan Adit tidak. Dengan demikian jalan tengahnya adalah mereka harus berakhir. Meskipun dengan cara baik-baik tetap saja terasa menyakitkan bagi keduanya.
“Sampai di sini pelajaran hari ini. Selamat siang anak-anak!”
“Siang Pak”!
Jawab anak-anak yang masih mempertahankan mata terbukanya sejak pelajaran dimulai hingga salam akhir. Dan terbangunlah anak-anak deretan kursi belakang bersamaan. Tanpa perlu diberitahu, seluruh penghuni kelas sejarah bersiap untuk pulang.
“Lin, aku ikut kamu yah?”
Mohon Rey. Seketika membuang sinar mata cerianya, berganti memasang mimik yang dramatis. Minta dikasihani.
“Aku mau daftar tempat bimbel Rey bukan rekreasi.”
Alin mengingatkan. Mendaftar bimbel bukan kegiatan menyenangkan sehingga membuatnya tergerak untuk mengajak salah satu atau beberapa temannya.
“Aku tahu. Tapi aku tetep pingin ikut.”
Kekeh Rey sekali lagi yang mana tidak akan meluluhkan Alin.
“Enggak boleh. Udah ah, aku pulang. Bye!”
Alin selesai berberes. Mejanya telah bersih dari alat-alat tulis dan buku-buku pelajaran. Ia cepat-cepat melarikan diri supaya terlepas dari permintaan merepotkan Rey. Alin berlari kecil menuruni anak tangga berlapis keramik putih, sesekali menoleh ke belakang. Ia takut terkejar.
“Lin, tunggu!”
Suara Rey membuat Alin makin mengencangkan larinya. Kemungkinan teriakan itu berasal dari tangga paling atas. Sekarang Alin bingung akan ke arah mana. Ia batal menuju gerbang pertama. Sebaliknya, malah menjauhi gerbang dan menyasar ke area ekstrakulikuler. Alin berhenti sejenak untuk mengatur napas. Kebetulan di depan ruang tempat ia berdiri ada bangku. Ia memutuskan untuk duduk. Meminum sisa air mineral yang ia beli di kantin waktu istirahat tadi.