Belum pernah Alin merasakan makan di luar bersama teman sekelas. Rey adalah yang pertama. Selain mengunyah dan menelan, mereka juga berbincang-bincang. Selalu Rey yang memulai. Ia banyak mengajukan pertanyaan. Terutama tentang restoran Agatha. Rey begitu tepikat dengan bunga-bungaan di lantai dua.
"Terus yang ngerawat bunga-bunga siapa Lin? Banyak banget loh ini. Apalagi ada anggrek juga."
Bunga yang Rey sebut memang membutuhkan perawatan khusus. Ia teramat suka cahaya namun secukupnya. Tidak terkena matahari langsung. Akarnya cenderung akan cepat mengering bila itu terjadi.
"Ibu sama Mbak Dew."
"Cuma dua orang?”
Sebelum menjawab, Alin minum terlebih dahulu. Lidahnya seperti terpanggang karena cumi pedas yang ia makan. Alin memesan menu sama dengan Rey, akan tetapi level pedasnya ditambah.
"Lebih dari cukup itu Rey. Tapi Mbak Dew sering ijin sih semenjak menikah. Kayaknya bentar lagi Mbak Dew resign deh."
"Bilang-bilang aku ya kalau ada lowongan buat ngerawat bunga."
"Kamu tertarik?"
"Banget."
Alin melebarkan pandangan, mengamati Rey dari pucuk rambut hingga sol sepatunya. Sesungguhnya ia kurang yakin Rey bisa setelaten ibunya ataupun Mbak Dew. Jari telunjuk Alin konstan mengetuk-ngetuk pipi. Ia berpikir keras sebelum mengiyakan.
"Oke aku bakal kasih tahu kamu nanti."
Putus Alin pada akhirnya. Meski ragu ia tetap memberi Rey kesempatan sebisanya. Urusan layak atau tidak ialah tugas Berlian yang menilai, bukan Alin.
"Yes! Thank you Beib!" Seru Rey puas.
Tiga puluh menit sudah Alin dan Rey duduk di tempatnya. Makan sembari mengobrol topik acak. Alin tidak menyesal. Ia akui jika Rey bukan lawan bicara yang buruk. Mereka nyambung. Seseorang tetiba menelpon Rey. Itu adalah kakaknya. Adit memberitahukan kalau ia, ayah, dan ibunya pulang besok. Rey nampak keberatan dengan itu. Ia mengakhiri panggilan dengan wajah muram.
“Lin, boleh minta tolong nggak?”
“Wah, perasaanku nggak enak nih.”
Potong Alin bercanda.
“Dengar dulu.” Setelahnya Alin memberikan kesempatan Rey untuk meneruskan ucapannya. “Keluargaku pulangnya baru besok. Nginap di rumahku ya? Mau kan?” Pinta Rey. Baru beberapa hari bersama Rey, ia sudah direpotkan banyak hal. Rey memang teman yang memiliki keterbukaan yang luar biasa. Ia tidak segan mengutarakan segalanya termasuk permintaan tolong. Rey berbanding terbalik dengan Lani. Lani adalah tipe orang yang lebih banyak memendam. Sehingga Alin menjadi pihak yang lebih aktif. Bersama Lani membuat Alin selalu ingin mengawali banyak hal dengan mengajak melakukan berbagai aktivitas menyenangkan. Lani juga membuat Alin penasaran akan macam-macam hal yang berhubungan dengan kehidupan Lani. Sayangnya dulu ia terlalu munafik. Alin membohongi diri sendiri dengan begitu saja mempercayai perkataan Lani. Aku baik-baik aja Lin, mereka cuma bercanda kok, kamu nggak perlu cemas.
“Emang kenapa? Kamu takut?”
Rey mengangguk. Sendirian di rumah membuatnya merasa tidak aman. Setidaknya jika terjadi apa-apa, keduanya bisa saling membantu. Memukuli pencuri sampai pingsan contohnya.
“Iya aku mau.”
Rey memeluk Alin saking senangnya.
***
Turun dari lantai dua, Alin bergabung dengan pelayan lain yang sibuk mencatat pesanan ataupun mengantarkan buku menu. Ia mengantarkan buku menu pada sekelompok laki-laki yang baru mendudukkan bokongnya. Lian, Boy, dan Bagas adalah nama mereka. Senior kelas dua belas yang satu sekolah dengan Alin. Kedatangan mereka sungguh mengejutkan Alin. Terutama Lian. Sebab hampir dua tahun ia tidak melihat Lian ataupun mencatat pesanannya lagi di resto. Padahal sebelum itu sering sekali.
Kalau Lian datang bersama rombonganya, Alin cepat-cepat turun tangan. Para palayan lain sudah hafal. Mereka lantas memberitahu Alin bila Lian datang. Buru-buru Alin menjemput buku menu kemudian mengantar pada Lian. Saat itu Alin belum tahu namanya. Jadi ia hanya menyebutnya lelaki penyuka kerang. Karena menu yang dipesannya selalu kerang dan tidak pedas.
"Silakan Mas mau pesan apa?"
Sapa Alin ramah.