Guru menyuruh kelas bahasa Inggris belajar sendiri. Biasanya Lian akan pergi ke perpus, namun di sana serasa sama saja dengan kelas. Sesak bila belajar di kedua ruangan itu. Dikepung dinding-dinding dengan rona dan bentuk serupa sungguh menjemukan menurut Lian. Lian butuh suasana baru agar fokus kembali. Sebab seminggu lagi tryout ketiga, ia mesti mempertahankan peringkatnya.
Ia putuskan untuk pergi ke atap gedung sekolah. Siapa tahu fokus yang menghilang entah kemana dapat kembali utuh. Di sana Lian bisa belajar sembari menikmati angin jam sepuluh yang menyegarkan. Sekarang ia telah berada di tangga paling ujung. Di hadapannya menutup pintu kayu. Ia mendorongnya perlahan.
Awalnya Lian kira ia sendirian, nyatanya tidak. Seorang gadis tengah berdiri membelakanginya. Ujung sepatunya berdempetan dengan tepian gedung yang tingginya sebatas dada gadis itu. Gadis itu terus melihat ke bawah. Seakan-akan penglihatannya menemukan objek menarik di sekitar sana.
Lian menepis pikiran buruknya berupa kemungkinan yang dilakukan gadis itu. Ia melangkah dengan hati-hati menuju gadis itu. Tak lama kemudian gadis itu berusaha menaiki kepala pembatas. Tubuhnya menegak. Selepas itu mengusap kasar air matanya yang terus jatuh ke pipi. Kedua tangan gadis itu merentang, menerima tiup-tiup angin yang menerbangkan rambut serta menyejukkan kulitnya. Ia harap sehabis ini, angan-angannya berubah nyata. Ia ingin terbebas dari sakit dan perasaan bersalah. Lian kelimpungan, pikiran buruknya bisa-bisa terjadi. Kaki-kaki Lian melesat untuk melakukan pencegahan sebelum semuanya terlambat.
“Hei!”
Lian menarik dua kaki gadis itu sampai mereka berdua menggeblak di lantai atap. Gadis itu selamat. Namun kepala Lian yang kasihan. Bagian tengkorak belakang terbentur sebab tak siap menopang berat tubuh gadis itu. Kejernihan pikiran gadis itu kembali. Cepat-cepat ia melepas diri dari badan Lian. Disaksikannya Lian sudah tidak sadarkan diri. Gadis itu mulai panik.
“Hei! Bangun! Ayo bangun!”
Gadis itu mengguncang-guncang badan Lian, berharap mata laki-laki itu terbuka. Dirasa percuma, mau tak mau ia harus meninggalkan laki-laki itu untuk mencari bantuan. Ia berlari ke pintu besi, menuruni tangga, dan melapor ke ruang guru. Ia mengadu pada guru olahraga, sebab mejanya paling dekat dengan pintu masuk. Guru olahraga menoleh pada guru pria lain yang ada di ruangannya. Adalah guru biologi yang langsung mengikutinya keluar dengan gadis murid. Mereka pergi ke ruang kesehatan untuk mengambil tandu serta meminta dokter piket dan perawatnya untuk melakukan pertolongan pertama pada siswa cedera kepala. Kesigapan itu dilakukan usai mendengar penjelasan si gadis soal pendarahan kepala.
Guru olahraga, guru matematika, petugas kesehatan, bersama gadis itu lari menuju atap. Sampai di sana dokter memeriksa pernapasan dan denyut nadi Lian yang ternyata masih ada. Dengan hati-hati dokter memasangkan collar neck yang perawat bawa. Setelahnya, kedua guru dan perawat memindahkan Lian ke tandu dengan hati-hati pula. Karena ketiganya berjenis kelamin pria yang fisiknya lebih kuat ketimbang dokter dan gadis itu.
***
Pertemuan Alin dengan Lian di resto memulangkan memori semasa SMP. Mereka bukan teman tetapi Alin yakin Lian adalah anak yang baik. Tindakan heroik yang dilakukan Lian terhadap Alin ialah buktinya. Beribu-ribu kali Alin bersyukur Tuhan menyelamatkannya melalui Lian. Waktu itu Alin sama sekali tidak sempat membalas kebaikan Lian. Ia teramat rapuh karena guilt complex, jadi terlebih dahulu fokus memulihkan diri.
Sebelumnya, sudah Alin ceritakan pada Berlian dan Okan tentang tekanan batinnya. Ia merasa bersalah dengan kematian Lani. Ia membenci dirinya sendiri sebab tak menolong Lani lebih awal dari pembulian. Lani ia biarkan mengalami kesakitan hingga mengakhiri hidupnya yang amat berharga. Padahal Alin merupakan satu-satunya kawan terdekat Lani, akan tetapi tingkahnya tak jauh beda dengan kawan-kawan lain yang memilih abai dengan siksaan yang kerap diterima Lani.
Beberapa anak beralasan malas berurusan dengan Nay, Bebi, ataupun Jia. Lantaran membuang-buang waktu. Menaikan nilai adalah yang terpenting. Alasan lainnya tidak berani ikut campur. Mereka tidak mau bernasib sama dengan Lani. Karena para pembuli memanglah kuat. Bukan kuat secara fisik, melainkan kuasa orang tua para pembuli di sekolah itu. Salah satunya adalah puteri pemilik sekolah. Jia sapaannya.
2 September 2027
Tahun baru terasa sama bagiku.
Mereka tetap abai. Begitu pun aku.
Bersama ketiga monster itu, kelinci dipaksa ikut keluar kelas.
Kakiku terasa berat mengejar dan bibirku kelu untuk sekadar berkata “jangan” pada monster-monster itu.
Tuhan, tolong kelinci itu
Ia tidak bersalah
Aku hanya bisa menangis melihat kelinci tersenyum paksa padaku
Bibirnya membentuk sebuah kata “Aku baik-baik saja”
Matanya mengisyaratkan agar aku tidak perlu cemas
Hingga ia menghilang bagai ditelan pintu, aku masih membatu
Sebab ketakutanku pada monster-monster itu