Nyaris menyentuh tanggal baru di bulan ketiga, Alin menjalani hari-hari sekolahnya. Ternyata mentalnya sehat-sehat saja. Berlian riang. Pandu senang. Okan tenang. Sementara Alin malah bimbang. Gara-gara diharuskan memilih satu atau dua di antara banyaknya ekstrakulikuler yang sesungguhnya tidak Alin diminati. Ia mengira di SMA Negeri 141 ada taekwondo atau sejenisnya. Sampai akhirnya demonstrasi ekskul memberi Alin jawaban bahwa di sini tidak ada ekskul bela diri. Padahal ia ingin belajar melindungi diri. Karena maraknya berita pemerkosaan yang menargetkan remaja perempuan. Ia bahkan membawa semprotan cabai dan tongkat lipat portable di tasnya untuk berjaga-jaga
Siomay yang dibelikan Rey pun sama sekali belum tersentuh. Makanan berbumbu kacang itu masih berlindung di balik kotak makan. Angga geregetan ingin membuka. Tahu-tahu tangannya sudah memanjang, mendekati penutup siomay. Sayangnya gagal karena Rey keburu memukulnya dengan penggaris besi berukuran 60 cm.
"Aw! Rey kamu KDRT! Keluhnya. Angga memegangi bagian yang terpukul.
"Rasakan!"
Belum pernah Rey merasa sepuas itu. Melihat Angga kesakitan, ia bersumpah ingin mengulanginya lagi.
Angga sedikit menjauh dari Rey, bersiap-siap kabur.
"Kamu jahat Rey! Perbuatan kamu bakal aku laporkan ke Pak Suryanto."
Ujarnya mendramatisir. Mendengar nama itu, Rey tidak perlu berpikir dua kali untuk kembali memukul Angga. Akan tetapi Rey mesti bersusah payah untuk meloloskan serangan kedua. Karena Angga sudah berlari, menyelamatkan diri dari kemarahan anak perempuan Pak Suryanto itu.
"Angga! Jangan kabur! Mati kamu kalau kena!"
"Ah, aku takut."
Ejek Angga.
Rey mengejarnya sampai lapangan depan sekolah. Napasnya yang putus-putus mengajaknya berhenti berlari. Angga turut berhenti. Berdiri beberapa meter dari Rey. Menonton Rey memegangi perut dan kesulitan mengatur napas. Kedua kawan dekat Alin itu sering sekali bertengkar. Begitulah cara mereka berdua melakukannya. Kejar-kejaran bak kucing dan tikus setelah saling ejek ataupun memukul. Angga luar biasa jail sementara Rey gampang tersulut. Toleransi Rey akan kejailan sangatlah rendah. Itu sebabnya ia yang kerap menjadi sasaran empuk laku menyebalkan Angga.
Alin keluar kelas. Pun mengentaskan diri dari kubangan kebimbangan perkara pilihan ekskul. Ia sudah membuat keputusan. Sepasang sepatunya membawa Alin mendatangi mading pusat. Poster yang ia cari untungnya masih tertempel meski salah satu pojokannya terkelupas dari dinding. Alin hanya tinggal meluruskannya. Ia mencatat nomor ponsel seseorang dan menghubunginya. Tidak menelpon melainkan mengirim pesan. Mengetik nama, asal kelas, dan menyatakan maksud bahwa Alinia Agatha mengikuti ekskul futsal.
"Lin!"
Rey menghampiri Alin yang fokus dengan ponselnya.
"Udah kejar-kejarannya?"
Alin akrab sekali dengan aktivitas "kucing" dan "tikus" itu. Setelahnya Rey bakal mengomel sendiri ketika menceritakan keusilan Angga. Sebagaimana yang dilakukan Rey di hadapan Alin sekarang.
"Jadi ekskul apa?"
Alin tersenyum.
"Dance? Bareng aku dong? Yes!"
Rey sembarangan mengartikan senyuman Alin. Belum Alin jawab Rey sudah bereforia.
"Futsal."
"Laaaah kok futsal sih Lin?"
Ekspresi Rey berubah kecewa.