“Kak Opi, aku minta maaf. Gara-gara aku Kak Opi jadi dihukum.”
Alin langsung menghampiri Opi sehabis ekskul futsal berakhir. Opi belum pulang. Ia masih duduk-duduk bersama Debora, Jaya, dan Wela di pinggir lapangan. Alin turut mendudukkan diri di karpet rumput yang hijau sewaktu mengucap kata maaf pada sang ketua.
“Makanya jangan sok! Pakai sepatu futsal itu gunanya supaya kamu nggak cedera pas main.”
Debora memukul Alin telak dengan olokan sadis. Ia terluka melihat kekasihnya turut menanggung kecerobohan anak baru. Meski paham bahwa dari dulu tugas ketua futsal memang begitu, namun tetap saja menurut hati kecil Debora itu tidaklah adil. Lebih-lebih jika menyangkut kesehatan Opi. Pada siang istirahat sekolah, Opi mengeluh sakit di area perut. Debora khawatir hukuman lari memperparah sakitnya. Debora sudah menyuruhnya ijin namun Opi malah menolak dengan dalih cuma sakit perut biasa, entar juga hilang sendiri. Selain kurang tegas, Opi juga pembohong yang buruk. Berkebalikan dengan Debora yang pandai membaca gelagat seorang pembohong. Akan tetapi ia memilih bungkam. Membiarkan Opi berbuat sesukanya.
“Udah Ra.”
Opi menepuk-nepuk pundak Debora supaya ledakan amarah itu mereda.
“Iya nggak papa Lin. Minggu depan pakai sepatu futsal ya?”
Tambah Opi yang lagi-lagi menenangkan. Mengurangi perasaan bersalah anak baru yang begitu kentara menyesali perbuatannya.
“Iya Kak. Kalau gitu aku permisi pulang Kak.”
Alin memandang ramah ke arah Opi, Jaya, dan Wela. Kecuali Debora, keramahan bola mata itu tak lagi murni karena sudah dicampuri perasaan takut.
“Hati-hati.”
Jawab Opi sembari menipiskan senyum, menyambut kepergian Alin. Ia melirik kekasihnya. Berpikir soal bagaimana mengubah suasana hatinya yang semula merah membara menjadi merah muda.
“Kamu juga salah Pi. Please-lah, lebih tegas sama anak baru. Supaya nggak dapet hukuman terus dari coach.”
Omel Debora. Ia melipat tangannya di depan dada. Sikap tubuh Debora ketika sedang kesal. Terhitung sudah tiga kali Opi mengalami kejadian serupa. Mendapat hukuman lari sebab kesalahan anak kelas sepuluh.
“Iya iya sorry Ra.”
Kata-kata maaf itu sudah sering mengorek telinga Debora. Ia mengharap lebih sebetulnya. Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya.
“Tuh Pi dengerin petuah nyonya besar.”
Seketika paha Jaya memerah terkena tamparan Debora. Wela terbahak melihat Jaya mengaduh sambil mengelus-elus bagian yang terasa perih.
Sore yang melelahkan bagi Alin. Latihan futsal, lari sepuluh kali putari lapangan, lalu ia harus mengembalikan bola dan pembatas kun di ruangan ekskul, pun mengunci portal lapangan futsal yang dikelilingi kawat anyam sebagai hukuman tambahan.
“Agatha!”
Coach Dery tetiba memanggil. Alin menelan ludah gugup. Jantungnya makin berisik, menggetarkan tulang dada dan kulit pelindung. Membayangkan coach Dery memberi hukuman lagi. Sejenak Alin melupakan bahwa coach Dery adalah pelatih futsal bukan sang eksekutor. Pembicaraan coach Dery dengan Lian berhenti sebentar. Kedua orang itu menunggu Alin berjalan mendekat.
“Iya Coach?”
“Untuk mengejar ketertinggalanmu soal teknik-teknik dasar futsal, kamu latihan dengan Lian ya? Jadwalnya terserah kalian. Kecuali Kamis, kamu tetap latihan dengan coach juga teman-teman yang lain. Bisa dimengerti?”
“Mengerti Coach!”
Titah mutlak yang melarang keras adanya bantahan. Alin nyaris menyebut coach Dery komandan. Coach Dery kemudian pamit pulang pada sekumpulan anggota yang tersisa di lapangan termasuk Alin yang sekarang tengah gugup usai pemberitahuan mendadak itu.
“Eummm.. Kak, diskusi tentang jadwal enaknya kapan?”
Alin mengawali pembicaraan untuk memecah keheningan mereka berdua. Lian mengambil ponsel yang mengintip dari dalam saku baju, dan menge-klik tambah kontak.
“Lewat chat aja gimana? Nomor kamu?”
Lian menyerahkan ponselnya pada Alin. Alin pun langsung mengetik nomor. Dan mengembalikan ponsel Lian setelah memijit digit nomor terakhir. Nomor itu dipanggil oleh Lian. Tersambung beberapa detik lantas ia matikan. Alin segera menyimpan nomor itu dengan nama “Kak Lian”.
“Sudah Kak.”