Senin pertama latihan futsal. Alin yang tiba lebih dulu di lapangan. Ia berlari-lari kecil memutari tempat itu guna melakukan pemanasan. Tidak seperti minggu kemarin, kedua kakinya telah terbungkus sepatu futsal abu-abu gelap. Alin membelinya di toko Sporty diantar Pandu. Kebetulan Pandu tengah menganggur saat itu. Tiduran di sofa sembari bermain game di ponsel. Alin yang sedang malas menyetir sendiri lantas meminta tolong pada adik laki-lakinya itu. Kendati Pandu menggerutu sebab waktu bersantainya terusik, namun ia tetap saja melangkah ke kamar, mengambil jaket dan kunci sepeda motor matic lantas membonceng Alin. Pandu memang adik yang bisa diandalkan. Alin tersenyum bangga di belakang punggung adiknya.
“Hei anak baru!”
Langkah Alin yang semula cepat kini melambat. Lalu berhenti di beberapa detik kemudian, menunggu senior yang ia kenal mendatanginya. Dia Debora. Kamis lalu sempat memarahinya karena melakukan kesalahan yang mulanya ia remehkan, yaitu tidak memakai sepatu futsal. Bagaimana Debora menusuknya dengan kata sok, masih hijau dalam ingatannya. Bahkan, samar-samar ia masih bisa mendengarnya.
“Iya Kak?”
“Nah gitu dong, pakai sepatu futsal. Kalau gini kan enak dilihatnya. Udah cocok jadi anak ekskul futsal kamu.”
Debora menepuk-nepuk pundak adik tingkatnya bangga. Alin pikir ia melakukan kesalahan lagi. Itu sebabnya Debora datang untuk memarahinya. Ternyata tidak seburuk perkiraannya. Tatapan sinis dan nada bicara yang meninggi sudah tidak berjejak di muka Debora. Berganti senyum manis dengan pandangan mata yang begitu antusias ingin terus mengajak bicara seseorang di depannya.
“Iya Kak. Makasih.”
Alin hanya tersenyum kikuk. Tak tahu lagi akan merespon bagaimana soal tindakan tiba-tiba senior yang terkenal galak itu. Buruknya, ia sudah mengalami kegalakan itu sendiri karena tidak sengaja menimbulkan masalah yang melibatkan kekasih sang senior.
“Ngomong-ngomong beli di mana sepatunya?”
Debora penasaran, model sepatunya mirip dengan sepatu yang dijual di toko papanya. Meskipun model sepatu itu juga diperdagangkan di tempat lain namun ia tetap ingin menanyakannya. Deboran sekadar basa-basi supaya obrolan terus mengalir. Tidak mandek, kehabisan topik.
“Toko Sporty Kak kalau nggak salah nama tokonya.”
Ujar Alin coba mengingat-ingat. Pasalnya ia baru pertama kali ke tempat itu. Bersama Pandu ia memilih toko itu secara random. Tidak sulit menemukan toko Sporty karena selain besar, warna cat mencolok pula. Hijau neon.
“Oh ya? Kapan? Kok aku nggak lihat kamu pas jaga toko?”
“Minggu siang, kisaran jam 11. Oh, itu toko punya Kakak?”
“Bukan punya aku. Punya Papa. Aku sih belum mampu bangun toko segede itu.”
“Yah, siapa tahu kan Kak.”
Alin dan Debora akhirnya tertawa bersama. Agaknya Alin harus menarik ulang kata-katanya tentang senior Debora yang hanya terkenal galak. Ia membuktikan sendiri bila Debora sosok yang ramah ditambah lagi asik diajak ngobrol. Ia memang galak tapi sifat-sifat baik lainnya juga tidak bisa Alin abaikan. Alin akui, berhenti mempercayai kepribadian seseorang yang disematkan khalayak adalah hal benar. Temui, kenali, dan nilai sendiri. Pikiran dan perasaan Alin masihlah bekerja dengan baik sehingga tak perlu bantuan banyak orang untuk melakukan itu.
“Kamu teruskan larinya kalau gitu, mau latihan sama Lian kan?”
Alin mengangguk. Debora tidak memanggil Lian dengan embel-embel Kak sebab mereka seumuran walaupun tingkat kelas Lian lebih tinggi. Debora pamit setelah Opi tertangkap matanya yang berbulu lentik sedang melambaikan tangan. Opi menunggu Debora di luar lapangan usai menuntaskan urusan. Sejoli yang memiliki perbedaan sifat itu membuat Alin iri. Mereka tampaknya bisa menangani perbedaan itu dengan baik.
“Astaga, mikir apa sih aku.”
Keanehan yang menyelipi pikiran buru-buru ia enyahkan. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk iri pada romantisasi pasangan kekasih. Alin pun kembali melanjutkan kegiatan lari yang sempat terinterupsi oleh Debora maupun pikiran anehnya.
Pada putaran kelima, Lian datang dengan sandang yang sejenis dengan Alin. Mengkilat sepatu futsal biru melingkupi kakinya. Alin memotong kegiatan larinya, menuju Lian yang berdiri di tengah lapangan. Tangan Lian mengepal, melayang lambat ke muka Alin. Alin spontan melakukan gerakan pertahanan. Kedua tangan yang menyilang melindungi wajahnya.
“Aku cuma mau ngajak kamu tos Alin.”
Lian tertawa ringan melihat kewaspadaan Alin. Gerakannya terlalu mendadak sehingga Alin bersikap demikian. Juga, Lian tidak bilang sebelumnya.
“Oh.”
Alin tersipu sebab reaksi berlebihannya. Ia menggaruk leher belakang. Baru berhenti ketika Lian mengajaknya tos sekali lagi.
“Kita mulai sekarang?”