“Yuk kantin Bos!”
Dani merangkul pundak Lian yang tengah berjalan keluar kelas. Sementara Boy dan Bagas mengekor di buritan. Sudah menjadi kebiasaan pada jam istirahat, Lian dan gengnya makan siang bersama. Kelompok pertemanan yang terbentuk secara tidak sengaja. Bermula dari kelas sepuluh, Boy yang belum pandai bersosialisasi, terlihat menikmati makan siang di kantin sendirian. Lian celingak-celinguk mencari kursi. Ketika tahu kursi di depan maupun sebelah Boy masih kosong, ia turut bergabung. Begitu pun Dani dengan Bagas, yang segera mengisi sisa tempat duduk di dekat Lian. Kebersamaan itu terus berlanjut sehingga lokasi maupun kegiatannya juga mengalami perkembangan. Tidak hanya sekadar makan di kantin, melainkan juga ngobrol dan saling lempar candaan di salah satu kelas ketika kebetulan sama-sama memiliki jam kosong, karena tentu saja mereka tidak selalu sekelas. Juga bersantai di kos-kosan Dani, bermain di timezone, bahkan berkemah di Papuma dua hari satu malam.
“Kamu duluan aja, nanti aku nyusul.”
Lian melepas rangkulan Dani karena beda tujuan. Ia berniat mampir ke suatu tempat sebelum ke kantin. Seseorang tidak lagi membaca pesannya sehingga Lian perlu menemuinya sendiri. Ia mengabaikan sejenak perut keroncongnya.
“Mau ke mana emang?”
Lengan kanannya terkulai lemah di sisi. Ia merasa kurang senang lantaran anggota gengnya berkurang satu.
“OSIS.”
Tipu Lian. Tentu saja Lian sudah tidak memiliki kepentingan sampai harus ke sana. Ia tidak memiliki wewenang. Kalaupun adik tingkatnya membutuhkan wejangan dari mantan wakil ketua, Lian yang akan didatangi atau sepakat mencari kenyamanan di tempat lain yang menyediakan minuman, kudapan, maupun diperdengarkan lantunan musik jazz sebagai pengiring obrolan santai antara Lian dan adik tingkatnya.
“Oh.”
Jawab Dani percaya-percaya saja. Ia memaklumi kawannya yang memang suka melibatkan diri dengan banyak hal yang merepotkan. Kemudian ia melesat menuju kantin bersama Boy dan Bagas, karena sejak pagi ia menahan lapar. Dani bangun kesiangan jadi tidak sempat sarapan. Beruntung kosannya dekat dengan sekolah sehingga tidak sampai telat dan terselamatkan dari hukuman berjalan jongkok dari pak Satpam yang berjaga di pos gerbang.
Lian menaiki anak tangga satu persatu. Menit-menit selanjutnya sampailah Lian di depan ruang B.4. Matanya menjelajahi bangku-bangku. Orang yang ia cari tidak ada ternyata. Dua sampai tiga anak di dalamnya hanyalah orang asing bagi Lian. Sewaktu akan meninggalkan kelas, seorang perempuan menyapanya.
“Kak Lian nyari siapa?”
“Alin. Tahu nggak dia ada di mana?”
“Oh si Alin. Ruang kesehatan Kak. Pelajaran pertama dia ngeluh sakit perut jadi diantar ke sana.”
“Oke makasih ya.”
Yolanda mengangguk. Pandangannya mengikuti kepergian Lian hingga tak menyadari segelas teh dingin dalam genggamannya tinggal setengah. Angga-lah pelaku penyedotan minuman itu.
“Ngga!”
Tempelengan Yola tepat mengenai ubun-ubunnya.
“Aw!”
Begitu ketahuan, Angga langsung mengambil langkah seribu sebelum gadis yang kerap dilatih olahraga tinju oleh ayahnya itu malakukan pukulan susulan atau bahkan membuatnya babak belur.
“Yah, tinggal segini. Padahal belum minum sama sekali. Angga kurang ajar!”
Yola berteriak jengkel pada satu-satunya manusia super usil di kelasnya.
***
Pintu yang diketuk-ketuk menarik perhatian perawat di ruang kesehatan. Padanya Lian ijin menjenguk. Selepas itu mengisi kolom identitas diri di buku pengunjung. Perawat kemudian mempersilakan dengan syarat tidak berisik. Dalam ruangan itu terdapat tiga tempat tidur dengan tirai putih di salah satu sisinya. Alin berbaring di kasur paling ujung. Kantung kompres yang berisi air hangat berada di permukaan perutnya. Obat pereda nyeri haid lumayan membantunya. Ia telah menelannya dua jam lalu.
Di sana Alin tidak sendiri. Ada Rey yang menemani. Ia barusan dari kantin, membawakan snack untuk Alin. Alin kemudian duduk untuk melahap pesananannya itu. Ia tersedak begitu melihat Lian datang.
“Ow, pelan-pelan Lin.”
Tampaknya Lian tidak menyadari bahwa dialah penyebab Alin tersedak. Atau ia sesungguhnya sudah tahu namun hanya berpura-pura. Senyum itu selalu menghiasi wajah Lian bagaimanapun keadaannya. Alin tidak mengerti letak perbedaan maknanya.