Semingguan ini Alin terus-menerus hemat bicara. Ia membuka mulut hanya ketika ditanya. Rey heran akan sikapnya. Sebetulnya juga sedikit cemas. Berulang kali Rey mendengar helaan napas gusar kawan sebangkunya seolah-olah ada ratusan kerikil yang memberati dadanya. Kerap ditanya kenapa, senyum paksa dan jawaban tidak memuaskanlah yang Rey terima. Bukan keterbukaan sesuai keinginannya.
“Aku nggak papa Rey.”
Sehabis mengatakan kebohongan itu, Alin akan menjaga jarak dari siapapun. Menyembunyikan muka pada kedua tangan yang terlipat di atas bangku. Atau pura-pura tidur sambil memasang headset. Atau keluar kelas, menyendiri di suatu tempat yang Rey tidak tahu karena Alin memilih bungkam sewaktu ditanya. Seperti suara Rey tidak cukup menjangkau telinga Alin padahal kenyataannya tidak demikian. Seluruh indra yang Alin miliki peka namun ia memilih abai alih-alih meresponnya.
Rey siap mendengar Alin bercerita sebenarnya. Atau setidaknya penjelasan singkat tentang perubahan sikap Alin. Sayangnya Alin enggan melakukan keduanya. Jam istirahat Alin habiskan di perpustakaan. Tak ketinggalan buku harian bersampul hitam bergambar mawar merah selalu Alin dekap ke mana pun. Di perpus, ia cuma berduaan dengan buku bacaan. Kadang-kadang Alin melamun, memandang kosong deretan huruf-huruf yang mengisi novel fantasinya.
Lama-lama Rey bosan sebab tidak punya teman mengobrol. Padahal beberapa hari ini, ada sesuatu yang amat memusingkan pikirannya. Ia ingin mengurai benang kusut dalam kepala lewat kata-kata. Sehingga ia butuh Alin sebagai pendengar.
Barangkali Alin bisa membantunya supaya Rey tidak merasa sendirian. Betapa Rey membutuhkan dukungan dari sahabatnya itu. Berupa tepukan pundak, ujaran kedulian, dan pelukan singkat. Belum pernah Rey memberitahu siapapun tentang ini. Rey ingin Alin jadi yang pertama. Sebesar itu memang kepercayaannya pada Alin.
“Alin kenapa sih Ngga belakangan ini?”
Gerutu Rey sembari membaringkan sisi kepalanya di meja. Ia malas ke kantin. Malas jajan. Uang sakunya tetap utuh tiga hari ini. Mamanya sampai bertanya-tanya. Lantaran kerap menolak jatah per harinya dengan alasan “yang kemarin masih ada Ma”.
“Kan kamu sahabatnya, kok tanya aku?”
Balas Angga masa bodoh. Ia asik menyeruput mi dalam cup tanpa memandang Rey sedetikpun.
“Kamu juga sahabatnya kali, gimana sih ah!”
Angga meminum kuah mi-nya sampai habis. Berikutnya air putih guna menetralkan mulut dari penyedap rasa yang terkandung dalam kuah mi.
“Biarkan dulu aja. Mungkin dia emang butuh sendiri.”
Ujar Angga santai. Meski dalam hati juga merasakan hal yang sama. Penasaran dan cemas pada kawan yang sekarang begitu terlena dengan dunianya sendiri ketimbang bergabung dengan dirinya dan Rey.
“Ngga, pernah diganggu sama penguntit nggak?”
Ujar Rey tiba-tiba. Bila lawan bicara mampu menangkap maksudnya, kata penguntit bukan mengarah ke sesuatu yang baik. Sayang sekali yang diajak bicara adalah Angga. Ia bukan tipe lelaki yang langsung peka. Mesti ada penjelasan maksud terlebih dahulu.
“Random banget pertanyaanmu?”
Pergantian topik pembicaraan yang lumayan mengejutkan. Tidak ada hubungan sama sekali dengan bahasan “Misteri perubahan sikap Alin”.
“Ya nggak papa cuma tanya aja. Nggak dijawab juga nggak papa.”
Pasrah Rey. Ia memejamkan mata. Mengabaikan ponselnya yang sedari tadi terus bergetar di kolong meja. Di layarnya menampilkan nomor yang sengaja diprivat oleh si Penelpon. Rey telah mengintipnya tadi.
“Ya nggak lah Beb. Kan bukan artis terkenal. Ngapain juga nguntit aku. Nggak ada untungnya.”
Angga tidak sepenasaran itu hingga mau menerka-nerka maksud dari pertanyaan Rey. Lagipula Rey mengatakan bahwa ia hanya bertanya, tanpa menjelaskan apapun.
“Oh.”
Tanggap Rey singkat. Ia lelah dengan getar ponsel dan kegelisahan yang mengganggu. Berharap bel terakhir segera menyuruhnya pulang. Segala yang terjadi di hidupnya entah kenapa berubah memuakkan. Ia menjadi tidak suka berlama-lama di luar rumah. Merasa tidak aman. Merasa terekspos, seolah seseorang selalu mengarahkan kamera padanya.
***
“Rey! Rey! Reeeeey!”
Dari kejauhan seorang laki-laki berlari, berupaya mendekati Rey yang sudah menghentikan langkah dan menunggu. Laki-laki itu adalah Jun. Sepucuk surat beramplop ungu dan kotak bercorak stroberi dalam genggamannya. Rey melirik benda-benda itu lalu mengembuskan napas jengkel. Ia tahu apa yang terjadi setelah ini.
“Ada apa Jun?”
Tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Nih!”
Jun menyerahkan benda-benda yang membuatnya kerepotan mencari
keberadaan Rey setelah membaca pesan kertas bertuliskan permintaan tolong untuk