Rey memeluk Alin erat. Ia menangis, turut prihatin atas segala yang dialami Alin. Menyaksikan pembulian, kematian sahabat, tercekik perasaan bersalah hingga berupaya membunuh dirinya sendiri. Alin baru berusia 16, namun banyak hal yang sudah dilaluinya. Andai takdirnya ditukar dengan Alin, kemungkinan besar akan mengambil jalan pintas serupa. Sebab belum pernah Rey mengalami permasalahan hidup sepelik itu. Bila dibandingkan dengan Alin, problem-problem yang pernah Rey hadapi tidak begitu berat.
Alin heran sekaligus bingung akan merespon bagaimana. Seseorang selain keluarga tahu perihal rahasia tergelapnya. Bahkan bersimpati dengan apa yang menimpanya. Ia tidak menduga jika Rey nampak terpukul juga akan kemalangan yang ia ceritakan melalui dua belah bibir sewarna kulit persik. Pada akhirnya, Alin hanya menepuk-nepuk punggung Rey. Tanpa berucap sepatah kata pun. Alin biarkan Rey meluapkan emosinya. Mendiamkan pundaknya dihujani tangis.
“Terus kamu sekarang gimana?”
Tangis Rey mulai mereda. Perlahan melepas dekapannya. Mengeluarkan dua lembar tisu yang terlipat dalam bungkus kecil untuk menghilangkan linangan air mata beserta ingus yang menyumbati hidung.
“Aku nggak tahu Rey. Tapi kalau dibandingkan dulu, sekarang agak mendingan.”
Mimpi buruk yang tetiba datang menganggu tidurnya minggu lalu membuat Alin ragu bahwa dirinya seratus persen baik-baik saja. Walau sudah bertahun-tahun, ia masih berpikir masa lalunya belum selesai. Seperti ada kepingan puzzle yang hilang. Sayangnya Alin belum tahu harus mencari ke mana dan kudu mulai dari mana.
“Tapi udah nggak ada keinginan bunuh diri kan Lin?”
Tanya Rey cemas. Bola matanya memancarkan pengharapan akan kabar baik bahwa Alin tidak lagi memiliki keinginan mengerikan itu. Bim salabim terkabul! Alin menggeleng sekuat tenaga sebagai jawaban. Hati yang semula kerut berubah mekar. Rey memeluk Alin sekali lagi seraya mengucap syukur.
Tragedi SMP Anthasena telah Rey dengar sendiri dari mulut saksi. Bahkan korban merupakan sahabat sang saksi. Tetiba teringat gosip yang sempat memasuki telinga Rey sewaktu berada di toilet restoran Agatha. Sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan gosip. Lamun batal ia suarakan. Ia memilih menelan kembali kata-kata yang hampir keluar itu. Takut memperparah trauma Alin lantaran berkaitan dengan pelaku buli. Sekarang Rey sekadar ingin mendengar cerita Alin sampai tuntas.
“Lin!”
“Hem?”
“Laper.”
Di meja hanya ada dua minuman memang. Menyisakan banyak bidang kosong yang harusnya diisi piring-piring makanan.
“Oh iya, kita belum pesan makanan. Kamu mau apa?”
“Samakan aja.”
“Kalau gitu bentar ya?”
Lama menangis membuat perut Rey bergemuruh. Selepas ditinggal Alin memesan, ia bercermin melalui kamera swafoto di ponsel. Memantul bayangan seorang gadis bermata merah dengan kulit kelopak agak bengkak.
“Astaga jelek banget muka kamu Rey!”
Ejeknya pada diri sendiri. Kecantikan alami yang menjadi salah satu daya tariknya telah menghilang. Ia tidak suka melihat penampilannya sekarang. Bisa-bisa kepercayaan dirinya akan menurun. Terlebih ia tidak membawa kacamata dan masker penutup guna menyembunyikan wajah memalukannya. Ia jadi menyesal meninggalkan benda-benda itu di rumah.
“Aku pesen dua bakso terus camilannya pempek. Nggak papa kan?”
Tanya Alin selesai memesan. Ia memilih makanan yang Rey juga pernah makan sebelumnya di pujasera Roxy. Kalaupun tidak sesuai selera kawannya saat ini, Rey masih bersedia memakannya karena mengetahui rasanya.
“Iya nggak apa-apa. Bentar ya Lin, mau ke toilet.”
Ujarnya setuju. Makanan apapun terlihat enak jika sudah kelaparan. Ia menyorong kursi ke belakang dan beranjak pergi ke toilet. Membasuh muka kemudian sedikit berdandan supaya tidak terlihat berantakan. Ponsel Rey tergeletak di permukaan meja. Lupa memasukkan kembali ke tas. Alin iseng meraih ponsel itu, menyalakan layar. Ia tersenyum melihat wallpaper yang terpasang. Swafoto dirinya dengan Rey di kelas. Foto itu diambil pada minggu kedua semenjak masuk sekolah.
Sebuah panggilan masuk berasal dari nomor privat. Alin lekas menjawabnya.
“Halo.”
“.…”
“Halo?”
Ulangnya. Hanya terdengar suara napas si penelpon. Pada menit selanjutnya sambungan terputus. Penelpon di ujung sana yang mengakhiri. Bukan Alin.