Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #19

18. ANGGA, SI LELAKI BERTOPENG

Penolakan Angga menemani Rey beralasan. Ia berencana mengunjungi pemakaman umum, mendoakan mendiang ayahnya. Lanjut mencari kado untuk merayakan sebuah acara penting di bangsal rumah sakit Bina Sehat. Ialah ulang tahun ibunya yang ke-49. Dihadiri hanya keluarga inti, Angga dan kakak perempuannya yang bernama Naina. Suami Naina tidak ikut lantaran urusan pekerjaan yang belum usai.

Bila ayah Angga masih hidup, tentu tidak akan melewatkan acara penting sang ibu. Juga, bila peristiwa nahas tidak menimpa pasti sang ibu tidak akan terbaring koma seperti sekarang, pun ayahnya pasti masih berada di tengah-tengah mereka.

Kecelakaan itu terjadi ketika liburan semester genap di sekolah Angga, sepulang dari Bandung, rumah salah satu kerabat ayahnya yang mengadakan pesta pernikahan.

Angga sempat ditawari untuk ikut oleh ibunya lamun yang didapat hanyalah penolakan. Teman-teman sekelas Angga tidak akan senang bila ia tiba-tiba membatalkan acara liburan bersama mereka ke beberapa tempat dengan alasan ikut orang tua ke Bandung. Karena itu sudah lebih dulu direncanakan. Satu bulan sebelum liburan seingat Angga.

Akhirnya kuda besi hanya terisi dua kursi. Naina juga sibuk dengan pekerjaannya. Terlebih hari itu adalah peresmian toko baju kepunyaannya. Semua anggota keluarga memiliki agenda masing-masing pada awal liburan semester sekolah Angga. Ibunya belum memikirkan rencana untuk menyenangkan Angga seperti mendata destinasi wisata ke luar Jember kemudian mencentang salah satunya. Mungkin nanti ketika sampai rumah ia akan membicarakan dengan suaminya. Sungguh disayangkan, pembicaraan itu tidak akan pernah terjadi. Kesempatan telah terhalang oleh takdir.

Di tol Cipularang, sebuah truk melaju tanpa kendali menghantam sisi kanan mobil ayah Angga hingga membuat kendaraan itu terdorong beberapa meter. Benturan dua kendaraan yang berbeda ukuran itu menyebabkan istrinya terpental keluar karena sabuk pengaman tidak mengait sempurna di tubuhnya. Sebelum truk datang, ia sedikit merunduk, tengah menggapai tungkainya yang lecet untuk memasang plester. Sepatu hak tinggi adalah pelakunya. Hal itu membuatnya sejenak melepas sabuk pengaman agar lebih leluasa bergerak. Ia mengalami cedera serius karena kepala yang membentur aspal.

Mobil beserta suaminya baru berhenti ketika menabrak pembatas jalan dengan keras. Ia sempat sadar namun mendadak terkena serangan jantung. Kurang dari satu jam sang suami menghembuskan napas terakhir. Nyawanya tidak tertolong karena lambatnya penanganan.

Dua tahun sudah Angga tidak mendengar suara ibunya. Bagaimana ibunya mencereweti dirinya tatkala sibuk bermain game sampai lupa makan. Bagaimana ibunya mengomeli dirinya ketika melihat pakaian kotor memenuhi keranjang di kamar dan tidak segera dimasukkan mesin cuci. Sungguh Angga merindukan itu semua. Kecelakaan yang menjadi musabab membuat nyawa sang ayah terenggut paksa. Sedang ibunya tertidur, bergantung alat-alat penunjang kehidupan di sekitar ranjang.

Tidak ada pesta. Tidak ada kemeriahan. Perayaan hanyalah sebuah peringatan hari kelahiran seseorang yang amat dirindukan kehadirannya. Lagi pula Angga dan Naina akan memasuki ruang ICU. Tentu perayaan bakal berbeda dari biasanya. Mereka akan meniadakan kegaduhan dan kilau pernak-pernik yang menjadi kekhasan pesta ulang tahun. Mereka hanya akan berbicara dan mengucap selamat pada ibunya secara bergantian.

“Mbak Nai, aku udah mau berangkat.”   

“Aku tunggu.

Panggilan terputus. Angga mengeluarkan kotak kecil dari saku celana. Benda itu adalah kado untuk ibunya. Ia meletakkannya di meja rias kamar sang ibu. Di antara bedak tabur, pewarna kelopak mata, dan gincu-gincu. Melihat diri ke cermin, Angga merasa aneh dengan penampilannya sendiri. Sebetulnya ia heran mengapa ibunya dulu terus memaksa untuk sering-sering memilih model pakaian yang membalut tubuhnya saat ini. Terlalu formal. Ia malu, lantas melapisi diri dengan jaket. Barulah ia dapat melangkah ke pintu keluar dengan percaya diri.

Lihat selengkapnya