Alin berbaring di kasur, merentangkan kedua tangannya. Kulit tangannya bergesekkan dengan seprai bergambar beruang putih. Konstan. Matanya menatap langit-langit kamar. Minggu kelabu Alin menyebutnya. Sebab kehilangan semangat melakukan apapun kendati hari ini sekolah libur. Pikirannya menerawang jauh, menggapai memori pekan lalu. Kala pipi kanan Lian memerah. Bekas tamparan. Alin ingin menanyakannya namun urung sebab Lian terlebih dahulu mengeja matanya. Lian tahu Alin penasaran. Ia lebih memilih tidak membiarkan penasaran itu berkembang menjadi perasaan simpatik. Lian tidak ingin membahas perihal pipi merahnya. Satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah menilai teknik-teknik dasar futsal yang sudah dikuasai Alin kemudian pulang ke rumah.
Raut muka Lian juga tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Muram dan terlihat sangat lelah. Senyumannya palsu. Usapan kepala yang bangga juga tidak Alin dapatkan. Hari itu Alin terhindar dari ketidakrapian kunciran. Alin rada cemberut. Ia lebih suka rambutnya berantakan karena sentuhan tangan Lian. Padahal ia melakukan teknik-teknik futsal dengan sempurna. Lian hanya mengucapkan selamat dengan nada yang membosankan. Alin balas dengan ucapan terima kasih yang tak kalah membosankan. Mereka lantas berpisah. Tidak ada obrolan setelah latihan. Lian bilang ia ada urusan mendesak yang menuntutnya untuk segera pulang. Alin mengangguk dan berhenti berharap. Hadiah kedua yang ia janjikan tidak dapat diberikan pada Lian. Alin sedih.
Harusnya pertemuan terakhir tidak begitu. Harusnya mereka berdua duduk di kafe rekomendasi Alin dan meneraktir banyak makanan sebagai hadiah kedua. Membicarakan banyak hal termasuk pesan panjang berupa pengakuan bahwa Alin adalah gadis yang diselamatkan Lian beberapa tahun lalu. Dan memastikan pada Lian apakah setelah latihan berakhir mereka berdua akan tetap menjalin keakraban atau tidak. Alin menghela napas panjang dan menyimpan kekecewaan di atas motor, memandangi punggung Pandu yang lurus ketika memboncengnya.
Alin memasang headset kecil, mencari lagu dengan alunan yang lembut di sebuah platform musik. Ia berharap kelembutan nyanyian diiringi musik dapat menenangkan hatinya dan membuat mengantuk. Tidur lebih bagus daripada memikirkan sesuatu yang mengecewakan seperti latihan terakhirnya bersama Lian. Sebelum memejamkan mata ia membuka Instagram. Bermain-main di sana. Ia menyukai postingan bunga lili dengan caption terima kasih dalam bahasa Inggris. Kemudian menyentuh tulisan keluar dari akun Instagramnya. Ia tertidur sambil memeluk guling.
Alin terlelap selama dua jam. Ia tidak bermimpi dan posisinya tidak berubah. Tetap memeluk guling. Peregangan tangan yang ia lakukan menimbulkan bunyi gemeretak halus di persendian. Baru kali ini ia tidur senyenyak bayi yang masih berusia belasan hari. Sekarang sudah setengah dua belas siang. Ia turun ke ruang makan karena lapar. Di rumah hanya ada dirinya.
“Pandu belum pulang kayaknya.”
Ujarnya pada diri sendiri setelah menyadari rumah terasa sepi. Ia membuka tudung saji, lauk sarapan masih tesisa. Omelet daging ayam buatan ayahnya. Siang yang panas menumbuhkan selera Alin akan makanan berkuah. Ia menginginkan sup jagung sebagai makanan tambahan setelah omelet. Ia tidak perlu membeli bahan-bahan untuk memasaknya karena sudah tersedia di kulkas. Tinggal memipil jagung, memotong kecil-kecil wortel dan buncis, serta mengocok telur. Bahan-bahan itu kemudian diolah sesuai resep yang sudah ia pelajari di internet. Segera setelah sayur matang, Alin langsung menyantap makan siang.
***
“Silakan perkenalkan dirimu!”
Matanya lekas beralih pada anak-anak yang memperhatikan dari tempat duduk masing-masing. Sebelah tangan Alin mengepal tatkala memandang murid baru yang tengah menyebut nama panggilannya, ia berharap keakraban bakal terjalin dengan kawan-kawan barunya. Jia tampak sehat, kulitnya terawat, dan kakinya bertambah jenjang. Alin mendecih pelan, murid baru itu tampak tumbuh dengan baik dengan senyum yang menggelikan. Ia berlagak tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah tidak memiliki masa lalu yang mengerikan seperti membuat seorang gadis yang tidak bersalah tersiksa dan mati.
“Kamu bisa duduk di samping Kinan.”
Ujar guru Diana. Jumlah siswa di kelas itu ganjil karena salah satu penghuninya pindah sekolah. Ia adalah teman sebangku Kinan dulu. Kedatangan murid baru membuat Kinan tidak lagi duduk sendirian. Kinan memindahkan tasnya dari bangku yang akan diduduki Jia. Sementara Jia masih berjalan. Jia menyapa Kinan dengan kata hai. Kinan membalasnya dengan ucapan serupa. Setelahnya mereka berkenalan. Jia tidak menyadari, dari arah berlawanan seseorang menyorotinya dengan pandangan penuh kesumat.
Rey belum pernah merasakan aura gelap saat bersama teman sebangkunya. Alin tampak seperti akan menumpahkan kemarahan yang lama mengendap. Sikap itu datang semenjak murid baru memasuki kelas. Rey tidak tahu mengapa. Ia menawarkan sebotol air mineral pada Alin namun ditolak. Penawaran itu membuat mata Alin beralih padanya setelah begitu intens memandang ke tempat duduk Kinan.
Alin tidak mengerti kenapa dari sekian banyak sekolah, Jia kudu menjatuhkan pilihan di SMAN 141 Jember. Sesungguhnya Alin tidak sudi kembali dipertemukan dengannya. Itu juga berlaku untuk Bebi dan Nay. Alin berharap ketiga perusak hidup orang lain itu mengalami penderitaan sama. Akan tetapi betapa sakit hatinya ketika Jia terlihat baik-baik saja. Sementara sahabatnya mati mengenaskan akibat perbuatan Jia. Alin yakin seratus persen bahwa gadis itu tidak menanggung hukuman apapun sampai sekarang. Sebab Alin tidak melihat ataupun mendengar tentang perkembangan kasus bunuh diri di sekolah lamanya. Alin ingat, usai mayat Lani ditemukan, tidak ada yang disalahkan atas kematian Lani. Seakan-akan pelakunya langsung lolos dari beragam kecurigaan hingga tiada penyelidikan lebih lanjut. Keluarga Lani pun tidak menuntut apa-apa lagi, seperti menerima dengan lapang dada.
“ Lin? Kamu nggak papa?”
Alin diam dan terus mencatat. Biasanya, sesekali Alin mengatakan sepatah atau dua patah kalimat pada Rey. Namun sekarang tidak. Matanya benar-benar fokus ke depan. Raut kekhawatiran mengitari wajah Rey. Alin tersenyum dan mengangguk menanggapi pertanyaan Rey. Rey lantas berbisik, menawari bantuan bila Alin sedang tidak enak badan. Ia siap mengantarnya ke ruang kesehatan.
“Nggak perlu Rey. Aku nggak papa.”