Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #21

20. DIAM DAN MENUNGGU

“Mau ke mana?”

Tangisnya sudah berhenti. Alin berniat pergi dari tempat itu untuk merapikan diri. Ia menyeret sepasang sepatunya menuju pintu keluar sembari merangkul keheningan. Pertanyaan Lian tak ia hiraukan. Sejujurnya ia pun tidak menyangka Lian yang akan menyaksikan perkelahian. Bukan orang lain. Siapapun bisa datang ke bubungan atap namun mengapa harus seseorang yang ia kenal? Alin protes pada udara. Lian menyusul Alin, membuntutinya meskipun sadar akan sinyal ketidaknyamanan yang dihantarkan Alin.

“Aku bisa sendiri Kak.”

Alin menghadang Lian agar tidak mengikutinya lagi. Ia mengatakan pada Lian bahwa dirinya tidak perlu ditemani sebab ia adalah gadis mandiri.

“Aku nggak bisa.”

Tolak Lian. Ia ingin memastikan Alin tidak melakukan hal-hal yang bakal melukai dirinya. Kejujuran Alin perihal masa lalu kemudian perkelahian yang barusan ia lihat merupakan pembuktian yang cukup bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

“Tapi aku mau ke toilet.”

Alin menggeleng heran dengan lelaki di hadapannya ini. Benar saja, Lian mengikutinya sampai depan toilet perempuan. Alin bergidik membayangkan bila Lian ikut ke dalam bersamanya. Lian bukan lelaki mesum kan? Pertanyaan itu terlontar dalam batinnya.  

“Oh, oke. Aku tunggu di luar.”

Alin lega. Lian masihlah lelaki yang dikaguminya. Ia baik, pintar, lucu, penolong, jago futsal, pembicara yang keren, dan tidak mesum tentunya. Ciri yang terakhir sudah Lian buktikan barusan. Alin bisa masuk ke toliet dengan tenang. Di dalam sana Alin membenahi seragamnya sesuai peraturan. Memasukkan atasan ke dalam rok. Menyisir rambut dan menguncirnya kembali dengan rapi. Ia juga membasuh mukanya yang berkeringat dan berbekas air mata. Beberapa bagian di pakaiannya masih kotor padahal sudah dibasahi sedikit dan digosok-gosok. Akan tetapi nodanya tetap sulit menghilang. Ia pun menyerah dan memilih membiarkannya saja.

“Kakak masih di sini?”

Alin kira Lian sudah pergi sebab bosan menunggu. Banyak yang yang harus dilakukan Alin di dalam sana. Nyatanya Lian tetap pada posisinya.

“Kan aku udah bilang mau nunggu. Kita ke ruang kesehatan!”

Lian menarik tangan Alin supaya gadis itu tidak kabur. Sentuhan tangan Lian kian mengerat ketika menjauhi kamar mandi. Tindakan itu mengirimkan sensasi tersendiri pada jantung sang gadis. Yang jikalau diterjemahkan bukanlah perasaan terancam melainkan senang.

“Nggak perlu Kak. Aku nggak apa-apa.”

Perkataan yang bertolak belakang dengan perilakunya. Kendati mulut itu menolak namun Alin tidak berusaha melepas kaitan Lian pada pergelangan tangannya. Alin terlalu nyaman.

“Kak Eka anak ini luka.”

Adu Lian. Sang perawat mempersilakan Alin untuk duduk lantas bertanya tentang bagian yang terluka. Alin menggulung lengan seragamnya dan luka cakaran menyambut penglihatan Perawat Eka. Tidak banyak yang dilakukan perawat untuk menanganinya. Ia hanya mengompres dengan air dingin.

“Ada lagi?”

Alin membuka roknya, memperlihatkan lututnya. Lian memerah, buru-buru mengalihkan pandangan ke lemari penyimpanan obat. Lutut itu masih berdarah. Alin belum membersihkannya lantaran tidak merasakan apapun saat di toilet. Perih baru meraba kulit lututnya ketika mendudukkan diri di ruang kesehatan. Di hadapan Eka.

“Terima kasih Kak.”

Ujarnya. Perawat Eka mendongak dan tersenyum pada Alin. Pembersihan dan pengobatan luka telah rampung. Perawat Eka tinggal memplesternya. Setelah itu Alin dan Lian diperbolehkan meninggalkan ruang kesehatan. Perawat Eka juga berpesan pada Alin untuk selalu berhati-hati meski ia tidak diberitahu dari mana luka-luka itu berasal.

Alin dan Lian berpisah karena tentu saja beda kelas. Alin harus menaiki tangga terlebih dahulu sementara Lian tidak. Kelas Lian berada di lantai satu sama dengan ruang kesehatan. Sebelum masuk, mereka kudu menyiapkan alasan yang bagus sebab terlambat lima belas menit.

“Dari mana kamu?”

Tanya guru Tantowi. Ia menoleh, menghentikan penjelasan tentang kegiatan ekonomi produsen. Sontak anak-anak sekelas turut memperhatikan Alin. Kecuali Jia, sebab bangkunya kosong. Kinan kembali duduk seorang diri, tidak tahu kemana Jia pergi. Alin juga tidak penasaran.

“Ruang kesehatan Pak.”

Terangnya. Mendengar itu guru Tantowi langsung menyuruhnya duduk. Pelajaran kembali dilanjutkan. Begitupun perhatian anak-anak, sudah terfokus pada guru Tantowi.

***

Lihat selengkapnya