Rapat dihadiri kepala sekolah beserta wakilnya, Lola Anita, dan dua guru BK. Diadakan dua hari selepas kedatangan orang tua Jia ke sekolah. Pukul sepuluh tepat agenda itu dimulai. Mereka membahas bagaimana sepatutnya menangani kasus Alin dan Jia. Orang tua Jia bersikeras bahwa Alin menyerangnya tanpa ampun, ditambah lagi ketakutan Jia ketika melihat Alin membuat kepala sekolah yakin bahwa Jia korban yang tidak berani melakukan perlawanan. Pengeluaran Alin dari sekolah bisa saja diputuskan bila itu sepenuhnya benar. Karena korban tidak bisa disatukan dengan pelaku penganiayaan.
“Bagaimana dengan Alinia Agatha? Apakah dia menceritakan sesuatu?”
Ibu kepala sekolah bertanya pada Lola Anita maupun guru BK. Guru BK tidak berhasil membuat Alin terbuka. Alin hanya berkata seadanya sewaktu ditanya kronologi lengkap kejadian. Sungguh tidak memuaskan si penanya. Namun bukan berarti guru BK tidak mendapat informasi apapun. Ia justru mendapat informasi tambahan dari saksi. Ialah Lian yang dengan sukarela datang ke ruang BK membeberkan segalanya tanpa sepengetahuan Alin.
“Yang diceritakan Lian benar Ibu, Alin juga menceritakan hal yang sama. Jia bukan korban. Sebelumnya mereka berdua beradu mulut. Kemudian berlanjut dengan pertengkaran fisik. Saling melawan. Meskipun Alin memang menyerangnya lebih dulu dan luka Jia juga lebih banyak dibanding Alin. Tapi saya simpulkan bahwa ini murni perkelahian antar remaja bukan penganiayaan sebagaimana yang dituduhkan ibu Jia. Karena Alin tidak berniat berkelahi pada awalnya. Sikap dan perkataan Jia yang memicunya memulai perkelahian.”
Jelas Lola Anita panjang lebar. Ia berharap penuturan itu dapat menyelamatkan Alin dari kemungkinan terburuk. Adalah dikeluarkan dari sekolah. Meskipun ia juga tidak membenarkan perilaku Alin, namun hukuman tersebut menurutnya terlalu berlebihan.
Alin lebih terbuka memang pada Lola Anita. Lola Anita berhasil membujuknya. Ia mengajak Alin bertemu di luar sekolah. Mulanya Alin enggan, akan tetapi Lola Anita mengaku bahwa ia ingin membantunya. Lola Anita tidak ingin Alin dikeluarkan dari sekolah sehingga untuk mewujudkan hal itu Alin kudu menceritakan segalanya. Alin tampak mempertimbangkan untuk melakukan pembicaraan dengan Lola Anita. Lola Anita memberi kesempatan Alin berpikir terlebih dahulu dan menghubunginya nanti bila setuju. Dan betapa senangnya Lola Anita ketika Alin bersedia. Ia memberitahu Lola Anita melalui pesan teks ketika sekolah berakhir.
“Hem… Saya mengerti. Akan tetapi pernyataan tentang Alin yang menyerang lebih dulu juga perlu diperhatikan. Itu termasuk pelanggaran berat karena membuat orang lain terluka. Apalagi luka-luka Jia terlihat lebih banyak dibanding Alin.”
Sangkal ibu kepala sekolah. Ia khawatir nama baik sekolah tercemar sebab ketidaktegasannya dalam menangani keributan sekolah. Pun sebentar lagi ujian semester ganjil, namun anak-anak lain justru berisik membicarakan perkelahian Jia dan Alin, bukannya fokus belajar. Rumor-rumor tak berdasar mulai bermunculan di lingkungan sekolah. Nilai rata-rata sekolah bisa turun jikalau mereka tidak fokus pada hal yang lebih penting.
“Menurut saya skors selama seminggu adalah hukuman yang pantas untuk Alinia Agatha. Sekolah akan mengeluarkannya jika ia terbukti melakukan penyerangan lagi terhadap Jia ataupun anak lain, bagaimana menurut anda sekalian?”
Usul bapak wakil kepala sekolah. Lola Anita dan guru BK terlihat menyetujuinya. Begitupun ibu kepala sekolah. Ia jadi berpikir bahwa langsung mengeluarkan Alinia Agatha dari sekolah bukan keputusan yang tepat kendati cemas akan reaksi orang tua Jia. Ibu kepala sekolah menggeser tempat duduk, mendekatkan mulut pada mic yang sudah melengkung di permukaan meja.
“Kepada Alin Agatha harap menemui kepala sekolah di ruang rapat sekarang juga.”
Ibu kepala sekolah mengulangi pengumuman itu sekali lagi kemudian mengucap terima kasih.
“Semangat Lin! Apapun keputusannya, ingat kalau aku selalu ada buat kamu.”
Alin tersenyum menanggapinya. Kata-kata hangat itu sedikit mengangkat beban pikirannya. Angga juga menyemangatinya lewat bahasa tubuh. Ia mengepalkan tangan di udara. Alin mengangguk dan segera menuruti panggilan itu. Teman-teman sekelasnya turut memandang Alin mulai dari ketika ia memohon ijin pada pengajar hingga berjalan melewati pintu.
Menurut Alin dikeluarkan dari sekolah bukanlah opsi yang buruk. Ia sudah memikirkan untuk kembali ke kehidupan lamanya, homeschooling dan menghabiskan sisa waktunya di resto. Tanpa futsal, tanpa Lian El Pahlevi, tanpa kecerewetan Rey, atau tanpa pertengkaran kecil Rey dan Angga, bak kucing dan tikus yang hampir berlangsung saban hari.
“Permisi.”
Alin mengetuk pintu, suruhan masuk dari dalam ruangan menggema. Alin lantas membuka pintu. Ia menelan ludah, merasa terintimidasi dengan pandangan mata penghuni di dalamnya. Penghakiman telah tiba. Ia dipersilakan duduk, menghadap meja yang melingkar.
“Kami barusan sudah melakukan rapat, membicarakan tentang masalah yang kamu buat dan kami sepakat untuk tidak mengeluarkanmu dari sekolah.”
Betapa mengejutkan keputusan itu. Alin pikir kemungkinan itu hanya terbilang satu persen. Ia sudah meyakini betul bahwa setelah ini ia akan membereskan perlengkapan sekolahnya yang ada di kelas lalu pulang ke rumah. Esok harinya mengurus dokumen penghentian sekolah lantas kembali ke kehidupan lama yang ia ragu bisa menikmatinya seperti dulu.
“Sebagai gantinya, kamu mendapat skors selama seminggu dan berjanjilah untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi pada Jia maupun siapapun di sekolah ini. Jika kamu mengulanginya tidak ada pengampunan lagi. Kamu akan langsung dikeluarkan dari sekolah ini. Mengerti?”
Tegas ibu kepala sekolah.
“Saya mengerti Bu.”
Pemberian kesempatan kedua melegakan hati Alin. Ia berjanji akan menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
“Surat keputusan akan segera dibuat. Setelah menerimanya, kamu berikan surat itu pada orang tuamu. Mereka berhak tahu. Saya juga mempersilakan orang tuamu untuk kemari besok.”