Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #23

22. JIA

Keadilan menurut ibu Jia adalah apabila ia diuntungkan. Alin yang tidak dikeluarkan dari sekolah tentu bukanlah keadilan. Kesaksian Lian sesungguhnya sia-sia. Ibu Jia tetap tidak akan terima. Semua orang telah keluar dari ruang rapat kecuali kepala sekolah dan ibu Jia. Selembar cek ia sodorkan di meja kepala sekolah. Belum terisi nominal. Itu artinya kepala sekolah bebas menulis angka berapapun di atasnya. Tergantung seberapa serakah ia. Cek itu hanya dipandangi kepala sekolah. Seincipun tangannya tidak bergerak untuk mengambilnya. Penuh kepongahan, ibu Jia menanti tindakan lanjutan calon orangnya. Sekolah yang akan ditempati sang buah hati memang sepatutnya berpihak kepada ibu Jia. Karenanya ia menggunakan cara yang ia pikirkan benar. Ia ingin Jia aman dan mendapat perlakuan spesial sebagaimana di Anthasena. Sampai kapan pun cek itu akan tetap kosong tanpa nominal. Ibu Jia mendelik ketika kepala sekolah mengembalikannya.

“Maaf Bu Rosiana, keputusan kami tetap sama. Alin tidak akan dikeluarkan. Menurut kami skorsing selama seminggu adalah hukuman yang paling pantas untuk membuat Alin jera. Jika tidak ada yang ingin Ibu sampaikan lagi silakan meninggalkan ruangan saya.”

Wajah ibu Jia memanas. Kata-kata kepala sekolah bukan yang seharusnya ia dengar. Ia merasa dipermalukan. Ia kira iming-imingnya berhasil memancing ketamakan seseorang seperti sebelum-sebelumnya. Nyatanya tidak. Ia tertipu pemikirannya sendiri bahwa tiap pemangku jabatan di mana pun tempatnya pasti penerima suap. Penolakan itu pun membuahkan ancaman.

“Anda akan menyesal sudah memperlakukan saya seperti ini.”

Menghilanglah ibu Jia dari pintu. Kepala sekolah melepas kacamata dan mengelap keringat yang perlahan turun di pelipis kanannya. Bertemu dengan seseorang seperti ibu Jia membuatnya sedikit tegang walaupun bukan pertama kalinya, di kasus yang berbeda. Ia kerap menjumpai wali murid yang berupaya agar anaknya lolos tes masuk SMAN 141 melalui jalan belakang.

***

Jia adalah anak tunggal dari pasangan Rosiana dan Daniel Abbas. Puteri berharga yang selalu dikabulkan permintaannya, dijauhkan dari semua masalah yang menimpanya, dan dipersiapkan segala kebutuhannya. Siapapun yang ketika ditanya menginginkan hidup seperti apa maka jawabannya adalah Jia. Manusia yang dikalungi keberuntungan sejak lahir. Begitulah citraan Jia dari kejauhan menurut orang-orang. Rosiana duduk di kasur Jia. Menemaninya sebentar sebelum kembali ke Surabaya. Peluncuran produk baru di perusahaan kosmetiknya akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Jadi ia sangat sibuk dengan persiapannya. Jia yang membuat mamanya datang jauh-jauh dari Surabaya setelah mendengar apa yang dialaminya di sekolah.

Jia terlalu fokus dengan ponsel hingga abai pada sosok wanita yang meminta perhatiannya sedari tadi. Jia hanya merespon dengan gumaman tidak jelas kala Rosiana menanyakan kondisi kesehatannya. Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Rosiana cukup jengkel hingga merebut ponsel Jia. Cara itu sukses membuat tubuh Jia berputar ke arah Rosiana.

“Mama minta waktunya sebentar buat ngomong.”

Demi ponsel dan berbagai hal menarik di dalamnya, Jia rela membuang jauh-jauh ketidaktertarikan mendengar ocehan mamanya. Udara hangat mengeluarkan diri dari kedua lubang hidung Jia. Gelagat ketika ia sudah siap.

“Besok kita lihat-lihat sekolah baru. Pemilik sekolahnya kenalan mama jadi kamu lebih aman di sana.”

Lihat selengkapnya