Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #24

23. SURABAYA

Berlian berkali-kali mengingatkan bahwa ini bukanlah liburan ketika melihat sulungnya berkemas semalam, mempersiapkan keberangkatan ke Surabaya. Alin mesti peduli dengan ketertinggalan pelajaran selama hukuman berlangsung. Rajin menanyakan bahasan materi pada Rey ataupun teman sekelas lain. Selama skorsing ia juga diberi tugas menulis laporan kegiatan positif di rumah. Itu bunyi tugas Alin yang disampaikan ibu kepala sekolah pada Berlian dan Okan ketika datang ke sekolah kemarin. Berlian meminta tolong pada Kiki, Levi, ayah, dan ibunya turut mengawasi Alin dan turut melarang jika Alin hanya bermain-main di sana. Ide pergi ke rumah kakek-neneknya adalah usulan Alin sendiri. Dengan alasan agar kegiatan positif yang dilakukan lebih bervariasi. Ia ingin melakukan banyak hal di Surabaya nanti. Paginya Alin baru berangkat ke terminal diantar Berlian. Pandu mengaku iri pada Alin. Ia ingin ikut Alin mengunjungi kakek-neneknya. Alin lantas tersenyum sambil mengusak gemas puncak kepala Pandu.

“Sekolah yang benar ya Adikku biar nggak kayak Kakak.”

Pandu hanya balas mencibir.

Sepanjang perjalanan Alin melamun. Kepalanya memainkan kilas balik kejadian yang telah lalu. Ketika di kelas, bubungan atap, ruang kesehatan, ruang rapat, sampai rumah. Berturut-turut berurusan dengan orang-orang yang berbeda. Alin duduk di sisi Berlian tentu saja. Telinganya bersumpal headset yang memperdengarkan musik bertempo lambat. Berlian mengantarnya sampai terminal Tawang Alun setelah itu mereka berpelukan sambil mengucap kata-kata perpisahan. Alin mengambil waktu pemberangkatan pukul 07.00 pagi.

 4 jam tiga puluh menit lama perjalanan Alin. Sesampainya di terminal Purabaya ia dijemput oleh sepupunya, Levi. Ia berteriak memanggil Alin yang tengah menyeret koper.

“Levi!”

Ia membalas pelukan Levi dengan antusias guna melepas kerinduan dan merayakan pertemuan. Sekarang Levi jadi lebih tinggi, seukuran Lian. Kulitnya tampak eksotis seperti mendiang paman Danu. Alin dan Levi juga seumuran. Akan tetapi Levi mantan murid akselerasi sehingga ia sekarang adalah seorang mahasiswa UNAIR jurusan sastra Indonesia.

“Kangen banget sama kamu Lin!”

“Sama.”

“Eh, makanmu teratur kan? Tiga kali sehari kan?”

“Iya teratur kok. Emang kenapa?”

Alin heran dengan pertanyaan Levi. Ia yakin sedang tidak menderita anoreksia.

“Kok nggak tumbuh-tumbuh sih?”

Shit!”

Alin memukuli Levi karena candaannya. Ia pikir Levi serius dengan pertanyaannya. Rupanya hanya jebakan. Levi tertawa sambil merasakan sakit akibat pukulan Alin yang tidak main-main.

“Kakek, nenek, sama tante Kiki sehat-sehat aja kan?”

“Sehat banget, apalagi nenek. Malah sekarang ketagihan zumba gara-gara Mama.”

Alin terhibur mendengar cerita Levi. Tetawa geli membayangkan neneknya melakukan zumba diiringi lagu-lagu remix. Mungkin kalau tante Kiki yang melakukannya, Alin tidak akan heran. Namun jika itu neneknya, Alin mungkin akan bertepuk tangan menyaksikannya.

“Kok bisa diskors sih Lin? Kamu salah apa emang?”

“Panjang ceritanya. Emang tante Kiki nggak cerita?”

“Nggak, Mama nggak bilang alesannya.”

“Singkatnya aku terlibat perkelahian.”

“Serius?”

Alin hanya mengangguk. Enggan menceritakan lebih detail. Levi pun langsung beralih ke topik ringan yang lebih menyenangkan. Mereka terus mengobrol sampai mobil Levi mendarat di halaman rumah kakek-neneknya. Selepas menurunkan koper dari mobil, Levi dan Alin masuk ke rumah.

“Nek, Alin datang!”

Nenek berjalan menghampiri cucunya dengan raut senang. Ia memeluk Alin erat saking rindunya. Sementara Levi langsung pamit ke kampus. Ia memiliki jadwal kuliah. Nenek mengajak Alin duduk di ruang tamu. Ia menyuguhinya minuman dingin dan brownis cokelat buatan Kiki.

“Ayah, ibu, sama adikmu sehat?”

“Sehat Nek. Sebenarnya Pandu pingin ikut tapi dilarang sama ibu, kan dia sekolah.”

Lihat selengkapnya