Satu-satunya yang mudah akrab dengan anak murid adalah Gamaliel. Anak-anak memanggilnya pak Gama. Begitu juga Alin ketika masih mengenakan seragam SMP Anthasena.
Sekarang Alin tengah berada di kantin SMP Anthasena. Tempat itu tidak banyak berubah. Desain tempat, menu makanan, dan para penjual, semuanya sama. Sebagian dari mereka sibuk membereskan stan, bersiap untuk pulang. Sebagiannya lagi tidak. Mereka menunggu sekolah benar-benar sepi. Memberi tempat anak-anak ekskul maupun OSIS yang ingin menuntaskan rasa laparnya sebelum ataupun sesudah berkegiatan.
Alin menunggu Gamaliel di sana dengan santai sembari bernostalgia. Gamaliel bilang, ia memiliki jadwal hingga jam terakhir. Jadi Alin memutuskan untuk datang ke sekolah ketimbang bertemu di tempat lain. Satpam sekolah dengan senang hati menyuruhnya masuk setelah memperkenalkan diri sebagai seseorang yang memiliki janji dengan Gamaliel. Ditambah lagi ia adalah mantan murid Anthasena. Namun Alin lebih memilih merahasiakan kenyataan yang kedua.
“Alin?”
Alin menoleh dan menyapa Gamaliel dengan senyum ramah. Ia lantas mempersilakan Gamaliel duduk.
“Sudah lama?”
“Kira-kira 20 menitan Pak.”
Alin menimbang-nimbang lama waktu datang, duduk, sampai menunggu.
“Saya mau pesan makan. Kamu mau juga?”
“Tidak Pak, terima kasih. Saya masih kenyang.”
“Nggak papa saya pesankan.”
Gamaliel bersikeras. Ia tetap meneraktir Alin makan lengkap dengan minumannya. Isi gelas Alin tinggal sedikit memang. Tadi ia menunggu kedatangan guru Gamaliel ditemani segelas kapucino dingin dan ingatan semasa SMP.
“Padahal saya betulan kenyang lo Pak.”
Tidak ada pilihan lain lagi. Alin kudu menyantapnya meski perutnya benar-benar kenyang. Gamaliel memesankan Alin ramen sementara dirinya nasi padang. Alasan Gamaliel karena ramen tidak terlalu mengenyangkan seperti nasi padang. Dengan begitu perut Alin masih mampu menampungnya.
“Nggak papa biar gemuk. Waktu SMP dulu kamu nggak sekurus ini. Kenapa? Karena tugasnya lebih banyak?”
Alin tertawa menanggapi pertanyaan Gamaliel seraya menyangkal penyebab tubuhnya kurus. Pembicaraan berlanjut dengan basa-basi umum. Saling menanyakan kabar, kegiatan di sekolah, alasan kedatangan Alin ke Surabaya, dan sebagainya.
“Sebenarnya saya bertemu Bapak ingin menanyakan sesuatu yang sensitif Pak.”
“Lanjutkan.”
Ujar Gamaliel enteng. Tanpa berprasangka apapun.
“Tentang Lani.”
Gamaliel menegakkan punggung. Seperti mempersiapkan diri dari seseorang yang bakal menendang tulang belakangnya. Ia menyuapkan nasi padang dengan tergesa hingga tersedak. Air mineral di sisinya-lah yang menyelamatkan jalan pernapasannya.
“Bukannya dia sudah meninggal? Apa yang mau kamu tanyakan?”
Gamaliel berupaya tenang meski dadanya memunculkan sensasi tidak nyaman.
“Soal keadilan Pak. Apakah Bapak tidak merasa jika kematian Lani diperlakukan dengan tidak adil? Sejauh yang saya tahu tidak ada yang bertanggung jawab. Kematian Lani hanya dianggap sebagai musibah. Padahal semua orang tahu kalau Lani bunuh diri karena tidak tahan di-bully oleh anak dari pemilik sekolah dan kedua temannya.”
“Kamu tahu dari mana kalau tidak ada yang bertanggung jawab?”
“Berita koran, web, televisi, Youtube. Saya melihat semuanya Pak setelah kesehatan mental saya pulih.”
Suasana yang tadinya santai berubah serius dan sangat mengganggu bagi Gamaliel. Topik yang betul-betul membuat Gamaliel kewalahan. Gamaliel terlihat enggan membeberkan sesuatu yang telah ia kubur dalam-dalam. Ada jeda cukup lama. Gamaliel meminta waktu untuk mengintip pesan teks yang tampaknya lebih penting ketimbang menjawab keresahan gadis yang duduk di hadapannya.
Tak lama panggilan telepon mengacaukan semuanya. Namun Gamaliel menjawab panggilan itu dengan raut lega. Ia perlu berterima kasih pada istrinya sebab menyuruhnya lekas pulang. Istrinya meminta Gamaliel untuk mengantarnya ke dokter kandungan. Ia buru-buru pamit, meninggalkan Alin dengan obralan janji kosong. Lantaran Gamaliel tidak telihat bersungguh-sungguh ketika mengucapkannya. Ia bilang pembicaraan akan berlanjut di pertemuan selanjutnya. Dan kapan itu? Hari ini adalah hari terakhir Alin di Surabaya. Sementara Gamaliel mengetahui fakta itu.
“Kenapa Bapak menghindar?”
Suara Alin lebih nyaring lantaran Gamaliel menunjukkan keseriusannya untuk berlalu dengan cepat. Ia telah berjarak beberapa langkah dari Alin. Lontaran pertanyaan itu membuat Gamaliel gelisah. Ia menoleh kanan-kiri, sadar telah menjadi pusat perhatian. Belasan anak murid lain yang awalnya menikmati makan siang tampak melihat ke arah Alin maupun Gamaliel.
“Sikap Bapak menunjukkan kalau yang saya simpulkan tentang Lani memang benar.”