Perjumpaan kembali dengan Alin usai hukuman skors berakhir membuat Rey terus menempelinya ke mana-mana. Ke kamar mandi, ruang guru, kelas sebelah, bahkan perpustakaan. Padahal perpustakaan bukan tempat favorit Rey. Rey mau berkunjung hanya ketika ada tugas sekolah. Satu lagi alasan tambahan karena ia tidak ingin melepaskan Alin. Hari ini ia berencana akan terus bersama Alin kecuali saat kelas geografi. Alin tidak mengambil kelas itu.
“Yakin mau ikut masuk?”
Sudah kali ketiga Alin menanyakannya. Mungkin akan menjadi yang terakhir karena Alin dan Rey sudah berada di depan pintu masuk perpus. Siswa-siswi tampak gusar karena mereka berdua menghalangi jalan. Beberapa berdehem. Sementara siswa lainnya menegur secara terang-terangan. Rey menjawab yakin lalu mendorong temannya masuk.
Di dalam sana Rey mengikuti Alin mengembalikan buku. Tidak hanya sampai di situ, perjalanan Rey masih panjang. Alin melanjutkan kesibukannya dengan mencari buku dari rak satu ke rak lainnya. Rey menghela napas jengah. Tingkahnya itu tak luput dari perhatian Alin, meski Alin lebih banyak fokus dengan buku-buku.
“Kenapa kamu? Menyesal?”
Alin sedikit menertawai sahabatnya yang mulai menampakkan sifat asli. Adalah tidak menyukai ruangan yang dipenuhi ribuan buku itu.
“Heran aku sama orang-orang kayak kamu.”
Komentar Rey.
“Orang-orang kayak aku?”
Tanya Alin sambil mebolak-balikkan halaman buku yang ia pegang.
“Iya. Yang betah berlama-lama di perpus. Aku aja udah ngantuk banget padahal baru 15 menit di sini.”
Suara Rey terdengar aneh karena ia berbicara sambil menguap. Itu menunjukkan bahwa ia tidak berbohong.
“Main komputer aja sana! Dari pada kamu ngikut terus kayak anak ayam.”
“Iya deh.”
Rey menuruti saran Alin. Ia pergi ke ruang komputer. Ia bermain Instagram, membuka Facebook, dan menonton sekelompok siswa melakukan tarian modern di Youtube. Secara ajaib kantuknya tidak lagi melingkupi kedua matanya. Pemandangan orang-orang yang bergerak kompak mengikuti irama jelas lebih menarik ketimbang memelototi huruf-huruf yang tidak bergerak dan banyak. Terkadang Rey ingin bersorak melihat bagaimana hebatnya atraksi yang dilakukan penari di layar komputer. Namun otaknya mengirim sinyal bahwa ia tengah berada di tempat yang diharuskan untuk tidak berisik sehingga membuatnya menutup mulut rapat-rapat.
Seorang laki-laki yang setengah bersandar di rak membuat Alin mengernyitkan dahi. Alin seperti pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana? Ia berupaya mengingat-ingat. Setelah lima menit berlalu barulah ingatan itu membumbung. Di hari ia mengunjungi makam Lani, ia juga bertemu dengan lelaki itu. Perlahan Alin melangkah, mendekati lelaki itu.
“Hai!”
Lelaki itu tidak membalas sapaanya. Komik di tangannya tampak seratus kali lebih menarik dari pada seorang gadis yang tampak ragu-ragu menyapa orang lain lebih dulu. Lelaki itu akhirnya mendongak dari buku bergambar setelah Alin menepuk pelan bahu kurusnya. Ekspresi mukanya sama sekali tidak ramah. Lelaki itu merasa terganggu.
“Ada perlu apa?”
Dingin sekali nadanya. Alin sampai menggigil dibuatnya.
“Ingat aku nggak?”
Alin menunjuk dirinya sendiri. Ia mencoba tersenyum sebisanya meskipun yakin lelaki di hadapannya tidak akan melakukan hal serupa.
“Nggak.”
Lelaki itu kemudian berpindah ke tempat lain. Ke tempat yang tidak seorang pun mau repot-repot menyapa ataupun melontarkan pertanyaan bodoh seperti gadis barusan. Ia duduk di kursi yang mejanya dilengkapi penutup di ketiga sisinya. Depan dan samping kanan-kiri. Alin cemberut. Padahal ia hanya ingin menanyakan siapa lelaki itu dan bagaimana hubungannya dengan Lani. Siapa tahu ia bisa diajak bekerja sama untuk melancarkan misinya. Ia tidak bisa begitu saja mengikuti kata-kata Gamaliel. Meskipun Gamaliel bilang berdiam diri dari kebenaran adalah sikap yang realistis saat ini, namun Alin masih akan mencoba cara lain. Cara yang menurutnya lebih baik.
“Yuk!”
Alin menyusul Rey yang tidak menunjukkan tanda-tanda bosan dengan tayangan di layar komputer. Sekarang ia menonton tutorial make up untuk pertunjukkan.