Berlian bilang, kesempatan hidup yang dimiliki adalah keberuntungan sejati sehingga jangan lupa untuk bersyukur setiap hari. Sayang sekali Alin mulai meragukan kata-kata mutiara itu. Bicara memang mudah namun sulit bagi Alin untuk mempraktikkannya. Alin tidak bisa bersyukur setiap hari karena situasi saat ini. Saban hari Alin harus datang lebih dulu di depan kelas Adam. Menunggu Adam keluar kelas bagaikan anak anjing yang patuh untuk kemudian mendapatkan pengabaian yang mengesalkan. Ia mesti menebalkan muka dengan terus mengikuti kemana pun Adam pergi demi menjaga harapan suatu saat Adam pasti menyerah dengan kepalanya yang batu. Beberapa hari Alin merasa tidak enak karena terus menolak ajakan makan siang Rey dan Angga.
“Sebenernya sahabat kamu itu siapa sih Lin!”
Kesal Rey. Ia melangkah kasar hingga pundaknya bertabrakan dengan pundak Alin. Ia pergi sebelum Alin sempat meminta pengertian yang sudah kelima kalinya. Alin memohon pada Angga untuk menenangkan kekesalan Rey sekaligus menyampaikan permintaan maaf. Angga menghembuskan napas lelah. Ia bingung mengapa hubungan persahabatan mereka berubah asam. Tidak manis seperti biasanya.
“Iya gampang, kamu nggak perlu khawatir.”
“Makasih Angga.”
Alin tersenyum penuh rasa syukur atas pengertian Angga. Alin menyegerakan langkah menuju kelas Adam sebelum lelaki itu susah ditemukan. Sebelumnya Adam mengikuti kelas fisika yang diampu oleh guru Tian. Alin telah memeriksanya tadi, sebelum kelas di mulai. Ruangannya berada di lantai dua, sama dengan Alin. Hanya melewati lima kelas jika mengambil garis start dari ruangan Alin. Alin diam, berteduh di bawah jendela. Ia menunggu seluruh penghuni kelas bubar. Begitu pintu terbuka, orang pertama yang menampakkan diri adalah guru Tian. Anak-anak murid menyusul di belakang. Mereka berjalan dengan kelompok masing-masing yang berjumlah ganjil maupun genap. Mereka menuju kantin sambil bercanda dan berbicara keras. Seolah terbebas dari ruang dilarang berbicara selain materi fisika. Adam tidak bergabung di antara mereka. Ia masih di kelas, sendirian membaca webtoon. Meskipun seseorang tampak mendekat padanya, ia tidak tergerak untuk melepas serat pandang yang terhubung dengan layar ponsel. Ia baru mendongak setelah Alin memanggilnya.
“Kamu lagi.”
“Hai.”
“Ke sini cuma mau bilang hai?”
“Eh enggak! Tolong jangan salah paham dulu, aku nggak ada niat jahat. Aku cuma mau ngobrol tentang Lani.”
Suara Alin memelan kala menyebut nama itu. Ia khawatir ada telinga lain yang bukan milik mereka berdua mencuri dengar. Alin pikir, topik yang berhubungan dengan tragedi adalah pembicaraan yang sensitif.
“Oke slow down.
Tangan Adam naik turun, mendorong ke bawah ketergesaan imajinatif usai mendengar kalimat tak berjeda. Sebuah isyarat supaya Alin tenang. Sekarang Adam akan mengambil sikap yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tidak akan menghindar ataupun mengabaikan Alin lagi. Ia memang berencana berada di kelas sampai jam istirahat berakhir. Akan tetapi, sungguh sayang, hari ini Adam tidak dalam suasana hati mau membicarakan hal serius. Apapun itu termasuk tentang adiknya.
“Besok aja gimana?”
Usul Adam.
“Entar kamu kabur lagi.”
Suara Alin melemah, sarat akan kekecewaan.
“Nggak akan. Besok jam kedua kamu di ruang mana?”