Dari perum Puri Bunga ke jalan Nusantara memerlukan waktu kurang lebih dua puluh lima menit dengan motor. Hunian Adam berdiri di antara bangunan-bangunan Bumi Kaliwates Regency. Alin ke sana di atas jam tujuh malam. Berbekal uang tunai, ponsel lawas, buku hitam, dan ponsel yang dipakainya kini untuk menyalakan aplikasi peta semenjak mesin motor berderum. Sebelum berangkat, Alin mengatakan akan melakukan kerja kelompok ketika Berlian menanyakan alasan mengapa tidak ada jadwal bimbel malam ini. Sebisa mungkin Alin menghindari mata Berlian. Ia merasa kebohongannya akan terbongkar jika balas memandang Berlian.
Adam menjemputnya di dekat pos penjaga, di gerbang masuk. Motor Alin segera diambil alih oleh Adam karena dari rumah ke tempat itu, ia berjalan kaki. Mereka berboncengan menuju rumah Adam yang kurang dari satu menit sampai. Di kediaman itu, Adam tinggal bersama Ibunya, Eren. Ia secara khusus meminta sendiri pada papanya, Hendro. Dulu, saat pulang ke Surabaya, ia memilih bersekolah di Jember bukan karena alasan random. Ia merindukan Eren. Jember adalah tanah kelahiran Eren. Semenjak Lani meninggal, Eren memutuskan untuk kembali ke sana. Surabaya terlalu lekat dengan segala kenangan Lani. Suasana hatinya selalu mendung jika terus menerus menetap di kota pahlawan itu. Ia menaruh lamaran sebagai seorang guru di berbagai sekolah negeri dan yang menerimanya adalah di SMPN 07 Jember. Sedangkan Hendro tetap di Surabaya, bekerja sebagai seorang psikiatri psikosomatis di salah satu rumah sakit umum.
Alin mengekori Adam hingga ruang tamu. Ia dipersilakan duduk, sementara tuan rumah mengambilkannya sekotak keripik asin, biskuit cokelat, tiga kaleng minuman soda berwarna merah, dan sebuah tab. Suguhan makanan itu sudah Eren siapkan di dapur. Adam hanya tinggal mengantarnya ke ruang tamu. Alin cukup tertarik dengan minumannya. Ia mengambil satu dan suara mendesis pun terdengar setelahnya. Pada tab-nya, Adam melakukan panggilan video di nomor Hendro meskipun sesungguhnya ia tidak tahu pasti praktiknya rampung atau belum. Nada tunggu panggilan berhenti pada detik ke sepuluh. Melalui video, Hendro terlihat sudah mengenakan kaos santai di kamar. Seorang gadis di sisi Adam membuatnya lekas bertanya sebab ia belum pernah melihatnya.
“Namanya Alin Pa.”
Adam memperkenalkan.
“Halo Om, saya Alin. Teman Adam.”
Alin menggangguk hormat pada gambar hidup di layar tab.
“Dia ini juga salah satu teman sekelas Dek Nini Pa.”
Raut muka Hendro tampak menginginkan penjelasan lebih detail tentang itu. Ia menunggu.
“Dan dia bilang, dia bersedia mengatakan segalanya tentang apa yang terjadi sama Dek Nini di Anthasena.”
Adam langsung memberitahu Hendro tanpa disuruh.
“Nggak hanya itu Om, saya juga menyimpan buktinya.”
Alin mengeluarkan buku sampul hitam bergambar setangkai mawar merah. Juga ponsel lawas yang ia gunakan sewaktu SMP. Banyak goresan di layarnya dan warna penutup belakangnya jauh dari kesan putih bersih. Warnanya sudah agak menguning namun masih bisa digunakan. Sepulang sekolah Alin sudah mengisi dayanya. Alin membukakan galeri ponsel untuk kemudian memperlihatkan video pertama. Tidak hanya Alin, Adam juga merasa gugup.
“Sebentar sebentar, kita tarik napas dulu.”
Walaupun video itu berada di ponsel Alin, terakhir kali melihatnya adalah saat merekam. Selepas itu Alin tidak berkeinginan melakukannya lagi. Ia takut video itu akan berpengaruh buruk pada kesehatan mentalnya. Untuk sekarang ia membuat pengecualian karena ia yakin akan baik-baik saja.
“Sebelumnya, apa Om mau saya kirimkan terlebih dahulu videonya?”