Surat undangan saksi diantar lebih cepat oleh penyidik. Kedatangan itu amat mengagetkan orang tua Alin. Siapa pun akan terkejut jika seorang pria berseragam tiba-tiba mengetuk pintu rumah. Lebih-lebih itu bukan seragam biasa melainkan kepunyaan aparat. Penghuni rumah lantas mempersilakan penyidik masuk, Okan yang memimpin menuju ruang tamu. Duduklah mereka di sana. Surat langsung diulurkan pada Okan setelah berbasa-basi. Ia membacanya dengan penuh kehati-hatian, kata per kata. Alin baru menuruti suruhan Belian agar turut bergabung di ruang tamu setelah Okan selesai membaca suratnya. Berlian lantas mengoper surat itu pada Alin. Alin menelan ludah gugup saat membaca bagian untuk didengar keterangannya sebagai saksi. Itu adalah pertama kalinya ia berurusan dengan polisi.
“Jadi berita itu benar? Kasus bunuh diri seorang siswi di Anthasena diusut kembali?”
Penyidik mengonfirmasinya dengan anggukan ditambah penjelasan yang diperlukan.
“Dari sekian banyak siswa di sana, mengapa anak saya yang harus mendapat beban seperti ini?”
Okan merasa keberatan jika Alin terlibat dalam hal-hal rumit seperti itu. Ia menginginkan Alin menjadi siswa biasa yang hanya menyibukkan diri dengan belajar ataupun mengikuti kegiatan di sekolah tanpa membuat masalah. Akan tetapi nampaknya kehidupan sekolah Alin selalu dibuntuti perkara.
“Tolong jangan katakan itu adalah beban Pak, Alin menerima surat ini karena dia punya bukti kuat untuk menangkap pelaku yang harusnya bertanggung jawab sejak dulu. Yang dilakukan Nak Alin ini perlu diapresiasi Pak, dari awal dia berniat membantu. Tanpa diminta dia mengantar sendiri buktinya pada keluarga korban.”
Okan menghela napas berat mendengar itu semua, kemudian menengok Alin yang memucat. Alin tidak bisa menyembunyikan ketakutannya akan reaksi yang ditunjukkan Okan setelah pengakuan penyidik. Ia tidak pernah jujur pada orang tuanya tentang apa yang dilakukan di tempat Adam tempo hari. Ketidakjujuran Alin selayak bom waktu. Tinggal menunggu kapan meledak, dan sekaranglah saatnya.
“Saya sangat mengharapkan kerjasama dari Alin, Bapak, serta Ibu supaya kasus ini lekas selesai sehingga keluarga korban bisa mendapat keadilan.”
Okan tidak memiliki empati sebesar itu terhadap persoalan orang lain. Apalagi ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kalau saja ia tahu rencana Alin dari awal, sudah pasti ia tidak akan mengijinkannya untuk terlibat.
“Lalu bagaimana dengan keselamatan anak kami? Apakah kepolisian akan menjamin keselamatan anak kami ketika maju menjadi saksi? Melihat bagaimana lambatnya penyelesaian kasus menunjukkan bahwa kasus ini rumit atau mungkin juga sangat membahayakan. Kami tidak ingin terjadi apa-apa dengan anak kami.”
Okan sadar ia bukan nabi yang dengan sukarela mengurbankan anaknya sendiri atas perintah Tuhan. Okan sadar ia hanyalah manusia biasa. Okan sadar isi surat itu bukan pula perintah Tuhan sehingga tidak mudah bagi Okan untuk menyetujuinya. Juga, ia tidak memiliki seseorang yang dapat diandalkan selain dirinya sendiri dalam mengambil keputusan. Jika keputusan itu terlalu riskan maka begitulah persyaratan yang harus ia ajukan. Istri dan anak-anaknya merupakan harta yang paling berharga baginya. Okan tidak akan membiarkan mereka melintasi jembatan setinggi 152 meter tanpa tali pengaman.
“Soal itu Bapak tidak perlu khawatir. Kami akan mengirim beberapa petugas kepolisian untuk mengawal keberangkatan Alin ke Surabaya. Selain itu usia Alin masih di bawah 18 tahun sehingga pemenuhan undangan sebagai saksi wajib didampingi orang tua.”
Kalimat terakhir adalah keterangan tambahan dari penyidik sebelum kepergiannya diantar sampai pintu oleh Okan. Sewaktu Alin akan meloloskan diri ke kamar, Okan segera menyuruhnya untuk tak berpindah dari tempat semula. Alin memundurkan langkah dan kembali duduk. Satu jam penuh Alin mendengar kuliah gratis dari Okan tentang masalah itu. Alin pasrah. Ia memilih pasif dan mendengarkan segala yang terlontar dari mulut Okan. Tanpa membantah. Tanpa protes. Ia menjawab hanya ketika ditanya. Nasehat yang harus selalu Alin ingat adalah berkata jujur dan melibatkan orang tua jikalau membuat sebuah keputusan besar. Kendati mulut mengiyakan nasehat itu, Alin tidak menyesal dengan yang dilakukannya. Lima belas tahun serumah dengan Okan, Alin hafal betul tabiat Okan. Itu yang menjadi latar belakang mengapa Alin tidak memberitahukannya pada Okan. Rencananya bisa berantakan. Lebih buruk lagi Alin tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya pada Lani.